Friday, November 13, 2009

Biografi Haruki Murakami

images

Haruki Murakami (12 Januari 1949) adalah penulis Jepang kontemporer yang sangat terkenal. Jebolan Universitas Waseda, Tokyo, ini meraih banyak penghargaan di dunia kepenulisan, antara lain Yomiuri Literary Prize (1995); Kuwabara Takeo Academic Award (1998); Frank O’Connor International Short Story Award (Irlandia, 2006); Franz Kafka Prize (Cekoslovakia, 2006); dan Asahi Prize (Japan, 2006). Terakhir, dia meraih Kiriyama Prize 2007, sebuah penghargaan untuk penulis unggul di kawasan Pasifik dan Asia Selatan. Karya-karya Murakami telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 40 bahasa.
Karya-karyanya antara lain
 Norwegian Wood (novel)
 Kafka on the Shore (novel)
 Dengarlah Nyanyian Angin (novel)
Seorang Gadis yang Seratus Persen Sempurna (cerpen)

Seorang Gadis yang Seratus Persen Sempurna

September 20, 2007

Seorang Gadis yang Seratus Persen Sempurna


Haruki Murakami


PADA suatu pagi di bulan April, di sebuah jalan sempit di sekitar Harajuku, aku berpapasan dengan seorang gadis yang seratus persen sempurna.
Sejujurnya, gadis itu tak terlalu cantik. Dia tidak luar biasa. Pakaiannya juga tak istimewa. Bagian belakang rambutnya masih tertekuk menyisakan bekas habis tidur. Dia sudah tidak terlalu muda lagi, pasti sudah mendekati tiga puluh tahun, bahkan sebetulnya tidak tepat disebut “gadis”. Namun, dari jarak empat puluh meter aku tahu: dialah gadis yang seratus persen sempurna bagiku. Begitu aku melihatnya, ada sesuatu yang bergemuruh di dadaku dan mulutku jadi terasa kering seperti gurun pasir.
Mungkin kau memiliki tipe perempuan kesukaanmu, perempuan berkaki ramping, misalnya, atau bermata lebar, atau berjari lentik, atau kau tertarik tanpa alasan yang jelas kepada para perempuan yang kalau makan lama sekali. Aku punya persyaratanku sendiri, tentu saja. Terkadang di sebuah restoran aku menyadari menatap seorang gadis yang duduk di meja sebelahku karena aku menyukai bentuk hidungnya.
Namun, tak seorang pun ngotot bahwa gadis yang seratus persen sempurna baginya berkaitan dengan tipe tertentu. Walaupun aku amat menyukai bentuk hidung tertentu, aku tidak bisa mengingat bentuk hidung gadis itu, jika hidungnya memang termasuk bentuk hidung kesukaanku. Yang bisa kuingat dengan pasti adalah dia tidak terlalu cantik. Itu aneh.
“Kemarin di jalan aku berpapasan dengan seorang gadis yang seratus persen sempurna,” kataku pada seseorang sesudah kejadian itu.
“Ya?” ujarnya, “Cantik?”
“Tidak terlalu.”
“Tipe kesukaanmu, kan?”
“Aku tidak tahu. Aku tidak bisa mengingat sesuatu tentang ia, bentuk mata atau ukuran payudara.”
“Aneh.”
“Ya. Aneh.”
Temanku menimpali dengan bosan, “Jadi, apa yang kamu lakukan? Mengobrol dengan ia? Membuntuti ia?”
“Tidak. Hanya berpapasan dengan ia di jalan. Ia berjalan dari timur ke barat, dan aku berjalan dari barat ke timur. Saat itu sungguh suatu pagi yang indah di bulan April.”
Seandainya saja aku bisa mengobrol dengan ia. Setengah jam sudah cukup lama untuk itu: bertanya tentang diri, bercerita padanya tentang diriku, dan… yang sesungguhnya ingin sekali kulakukan, menjelaskan pada ia kerumitan takdir yang membawa kami berpapasan di sebuah jalan di Harajuku pada suatu pagi yang indah di bulan April 1981. Ini adalah sesuatu yang penuh rahasia, seperti sebuah jam dinding antik yang dibuat ketika dunia dalam keadaan damai.
Setelah mengobrol, kami akan makan siang di suatu tempat, atau mungkin menonton film Woody Allen di bioskop, lalu nongkrong di sebuah bar hotel untuk minum cocktail. Bila aku beruntung, mungkin kami akan berakhir di atas ranjang.
Kemungkinan itu mengetuk pintu hatiku.
Kini jarak di antara kami menyempit menjadi sekitar lima belas meter.
Bagaimana aku bisa mendekati ia? Apa yang harus kukatakan?
“Selamat pagi. Apakah menurutmu kita bisa mengobrol setengah jam saja?”
Konyol. Aku terdengar seperti seorang penjual asuransi.
“Permisi. Apakah kamu tahu binatu yang buka sepanjang hari di sekitar tempat ini?”
Tidak. Itu juga konyol. Aku tidak membawa cucian. Siapa yang akan percaya kalimat semacam itu?
Mungkin kejujuran akan berhasil. “Selamat pagi. Kamu adalah gadis yang seratus persen sempurna untukku.”
Tidak, dia tak akan percaya. Atau mungkin dia percaya, tapi tak ingin berbicara denganku. Maaf, begitu katanya barangkali, aku mungkin saja gadis yang seratus persen sempurna bagimu, tapi kamu bukanlah pemuda yang seratus persen sempurna untukku.
Itu bisa saja terjadi. Dan jika aku mengalami hal semacam itu, aku mungkin akan hancur berkeping-keping. Aku tak akan pernah pulih dari guncangan. Usiaku kini tiga puluh dua tahun dan begitulah rasanya menjadi dewasa.
Kami berpapasan di depan sebuah toko bunga. Udara lembut menyentuh kulitku. Aspal terasa lembab dan aku menangkap aroma mawar yang meruap. Aku tak bisa memaksa diri berbicara dengan gadis itu. Dia mengenakan sweater putih dan tangan kanannya memegang selembar amplop putih yang belum ada prangkonya. Jadi, ia menulis sepucuk surat pada seseorang, mungkin sampai menghabiskan waktu semalaman untuk menulisnya, karena matanya tampak mengantuk. Amplop itu mungkin berisi segala rahasia yang ia miliki.
Aku melangkah beberapa kali dan menoleh: ia sudah lenyap dalam kerumunan.
Kini, tentu saja, aku tahu dengan tepat apa yang seharusnya kukatakan kepada ia. Mungkin terlalu panjang untuk kusampaikan dengan layak. Gagasan-gagasan yang terpikir olehku tidak pernah praktis.
Begitulah. Apa yang kukatakan itu akan diawali dengan “Pada suatu ketika” dan diakhiri dengan “Sebuah kisah yang sedih, bukan?”
Pada suatu ketika, hiduplah seorang pemuda dan seorang gadis. Pemuda itu berumur delapan belas tahun dan si gadis berumur enam belas tahun. Pemuda itu tidak terlalu ganteng dan si gadis juga tidak terlalu cantik. Mereka hanyalah seorang pemuda biasa yang kesepian dan seorang gadis biasa yang kesepian, seperti halnya orang-orang yang lain. Namun, mereka percaya sepenuh hati bahwa di suatu tempat di dunia ini hiduplah seorang pemuda yang seratus persen sempurna dan seorang gadis yang seratus persen sempurna bagi mereka. Ya, mereka percaya pada keajaiban. Dan keajaiban itu sungguh-sungguh terjadi.
Suatu hari keduanya bertemu di sudut sebuah jalan.
“Ini menakjubkan,” ujar si pemuda. “Aku telah mencarimu sepanjang hidupku. Kamu mungkin tidak percaya, tapi kamu adalah gadis yang seratus persen sempurna untukku.”
“Dan kamu,” sahut si gadis, “adalah pemuda yang seratus persen sempurna untukku, tepat seperti bayanganku hingga hal-hal paling sepele. Seperti mimpi saja.”
Mereka lalu duduk di atas bangku di sebuah taman, berpegangan tangan, dan menceritakan kisah mereka masing-masing selama berjam-jam. Mereka tak lagi kesepian. Mereka telah menemukan dan ditemukan oleh pasangan seratus persen sempurna mereka. Hal yang paling menakjubkan di dunia adalah menemukan dan ditemukan oleh pasangan seratus persen sempurna kita. Ini adalah sebuah keajaiban kosmis.
Saat mereka duduk dan bercakap-cakap, secercah kecil keraguan muncul di hati mereka: Tak anehkah mimpi-mimpi seseorang menjadi kenyataan dengan begitu mudah?
Dan begitulah, ketika tiba saat jeda dalam percakapn mereka, si pemuda berkata kepada si gadis, “Mari kita uji diri kita, sekali saja. Jika kita sungguh-sungguh pasangan seratus persen sempurna masing-masing, maka pada suatu waktu, pada suatu tempat, kita pasti akan bertemu lagi tanpa kesulitan. Ketika itu terjadi dan kita tahu bahwa kita adalah pasangan seratus persen sempurna masing-masing, kita akan menikah. Bagaimana menurutmu?”
“Ya,” jawab si gadis, “itulah yang harus kita lakukan.”
Dan mereka pun berpisah, si gadis pergi ke timur, dan si pemuda melangkah ke barat.
Ujian yang mereka sepakati sebenarnya tidak diperlukan karena mereka sungguh-sungguh kekasih sempurna seratus persen bagi yang lain dan merupakan sebuah keajaiban mereka bisa bertemu. Namun, mustahil mereka mengetahui hal ini pada usia semuda itu. Ketika mereka tersadar, kepala mereka sekosong rekening bank DH Lawrence muda.
Mereka berdua sebetulnya adalah dua orang muda yang cerdas. Melalui upaya yang terus-menerus mereka mampu mendapatkan pengetahuan dan perasaan yang membuat mereka menjadi anggota masyarakat yang berhasil. Syukur kepada Tuhan, mereka menjadi warga negara yang sungguh-sungguh bertanggung jawab yang tahu bagaimana beralih dari satu jalur kereta api ke jalur kereta api lainnya dan paham bagaimana mengirim sepucuk surat kilat khusus di kantor pos. Mereka bahkan bisa merasakan cinta lagi, terkadang bahkan cinta tujuh puluh lima hingga delapan puluh lima persen.
Waktu berlalu begitu cepat dan dengan segera si pemuda telah berumur tiga puluh dua tahun, sedangkan si gadis tiga puluh tahun.
Pada suatu pagi di bulan April, saat mencari secangkir kopi untuk mengawali hari, si pemuda berjalan dari barat ke timur, sementara si gadis yang bermaksud mengirimkan sepucuk surat kilat khusus, berjalan dari timur ke barat.
Keduanya berjalan sepanjang jalan sempit yang sama di daerah Harajuku, Tokyo. Mereka saling berpapasan di tengah jalan. Sinar pudar sisa ingatan mereka yang telah lenyap berkilau amat singkat di hati mereka. Masing-masing merasakan gemuruh di dada mereka. Dan mereka tahu:
Gadis itu seratus persen sempurna untukku.
Pemuda itu seratus persen sempurna untukku.
Namun, kilau ingatan mereka terlalu lemah dan pikiran mereka tak lagi mengandung kejelasan seperti empat belas tahun sebelumnya. Tanpa sepatah kata, mereka berpapasan, lalu lenyap dalam kerumunan. Selamanya.
Sebuah kisah yang sedih, bukan?
Ya. Itu dia. Itulah yang seharusnya kukatakan kepada gadis itu.


Catatan:
Haruki Murakami lahir di Kyoto, 1949. Ia adalah pengarang Jepang paling terkemuka saat ini. Karya-karyanya antara lain Norwegian Wood (1987) dan Kafka on the Shore yang telah diterjemahkan ke berbagai bahasa dan menjadi buku laris di mana-mana. Cerpen ini diterjemahkan dari bahasa Jepang oleh Jay Rubin, profesor sastra Jepang di Universitas Harvard, dan diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Anton Kurnia dari judul semula On Seeing 100% Perfect Girl One Beautiful April Morning dalam kumpulan cerpen The Elephant Vanishes; Vintage, London: 2003.

Biografi Ryūnosuke Akutagawa





200px-Akutagawa_Ryunosuke_photo

Ryūnosuke Akutagawa adalah seorang penulis Jepang yang aktif pada periode sho. Dia dikenal sebagai bapak Cerita Pendek Jepang. dan perhatiannya adalah kisah-kisah yang mengeksplorasi sisi gelap manusia.
Akutagawa lahir di distrik Kyobashi di Tokyo, anak dari seorang tukang susu (Toshizô Shinbara). Ibunya (Fuku Shinbara) mengalami gangguan kejiwaan tak lama setelah melahirkan Akutagawa. Karena ayahnya tidak bisa untuk merawat Akutagawa, akhirnya ia dititipkan kepada pamannya, Akutagawa Dosho, dari pamannya inilah ia mendapatkan nama keluarga Akutagawa. Dia sangat tertarik dengan sastra klasik China pada masa-masa awal. Mori Ogai dan Natsume Soseki telah menjadi penulis yanng berpengaruh semasa masa pertumbuhan Akutagawa.

Akutagawa memasuki sekolah pertamanya pada 1910, dan membangun pertemanan dengan Kikuchi Kan, Kume Masao, Yamamoto Yûzô, and Tsuchiya Bunmei, semuanya kelak menjadi penulis terkenal. Dia mulai menulis setelah memasuki Tokyo Imperial University pada 1913, di mana dia mempelajari kesusastraan Inggris.

Ia menikah dengan Fumi Tsukamoto pada tahun 1918, dan memilki tiga anak: Hiroshi Akutagawa (1920-1981), aktor terkenal, Takashi Akutagawa (1922-1945), terbunuh pada Perang Dunia II, dan Yasushi Akutagawa (1925-1989), seorang kompposer.

Akutagawa mulai menulis fiksi semasa di universitas. Karya sastra pertamanya (1914) adalah terjemahan dari karya Anatole France, Balthasar (1889). Bersama dengan dengan teman-temannya, Kikuchi Kan DAN Kumé Masao, dia mendirikan majalah sastra Shin Shicho, di mana dia mempublikasikan ”Rashomon” (atau ”The Rasho Gate”, 1915). Novelis Natsume Soseki, sangat tertarik dengan hasil karya Natsume Soseki dan mendorongnya dalam menulis.

Setelah lulus, Akutagawa mengajar di sekolah pelayaran di Yokosuka dan menikahi Tsukamoto Fumiko. Akutagawa sebenarnya ingin memusatkan diri pada sastra sepenuhnya dan menolak ajakan untuk mengajar di universitas Tokyo dan Kyoto. Akhirnya dia mengundurkan diri dan menjadi kontributor tetap koran Osaka Mainichi. Pada masa-masa aktifnya pada 1921 Akutagawa berkunjung ke China sebagai koresponden, namun, karena alasan kesehatan, dia tidak dapat menulis artikel apapun di sana. Ia mendapat bimbingan dari Natsume Soseki setelah Soseki mengetahui bakat Akutagawa dalam penulisan.

Akutagawa menulis hampir semua karya utamanya pada sepuluh tahun sebelum ia bunuh diri. Akutagawa adalah murid Soseki yang berbakat, yang memulai karirnya di majalah Shinshichoo. Soseki memberikan pujian kepada Akutagawa dengan karyanya Hana, sebuah novel satire yang mengambil bahan dari cerita klasik. Untuk menciptakan suatu novel, Akutagawa mengutamakan pengambilan bahan dari cerita yang berlatar belakang sejarah atau cerita klasik, kemudian diolah dengan baik sehingga akhirnya lahirlah sebuah novel baru dengan penafsiran yang baru pula. Di antara novel seperti itu adalah Rashomon, Gesaku Zanmai, Karenoshoo dan Yabu no Naka. Dia mempunyai keahlian untuk mengubah realitas, sehingga dia dijuluki grup cendekiawan atau neo realisme.

Akutagawa sangat familiar dengan Kesusastraan Eropa dan China. Dia pelanggan tetap Maruzen, publikasi berbahasa asing di Tokyo, dan tertarik dengan penulis barat seperti Strindberg, Mérimée, Nietzsche, Dostoevsky, Baudelaire, dan Tolstoy. Meski Akutagawa belum pernah berkunjung ke Barat, namun pengetahuannya akan kesusastraan Barat sangat luas.

Karya terakhir Akutagawa yang tidak bisa dianggap remeh adalah Kappa (1927) berkisah tentang seseorang yang tersesat ke negeri Kappa, sosok dalam mitos dan folklor masyarakat Jepang. Kappa adalah karya Satir yang dalam beberapa sisi memperlihatkan sisi kejiwaan Akutagawa yang tidak stabil dan mengalami gangguan. Diakhir hidupnya dia tidak bisa mengikuti dan menyesuaikan diri dengan dunia sekelilingnya. Pada masa-masa ini dia sering mengalami halusinasi dan mencoba untuk bunuh diri. Dia menulis Kappa, Haguruma dan lain-lain dalam keraguan terhadap dirinya dan dalam penderitaan jiwa. Hatinya yang tersiksa oleh tekanan jiwa dilampiaskan ke dalam karya-karyanya. Akhirnya, pada 24 Juli 1927, Akutagawa mengakhiri hidupnya sendiri. Kappa adalah cerita satir yang merupakan kekecewaan Akutagawa terhadap masyarakat Jepang pada masa itu. Untuk menghormati pencapaian dan prestasi Akutagawa dalam kesusastraan Jepang, namanya diabadikan menjadi sebuah penghargaan bergengsi untuk kesusastraan Jepang, Akutagawa Prize.

Akutagawa menulis sekitar 150 cerita, beberapa sudah pernah difilmkan. ‘Rashomon’ adalah salah satu karyanya yang sangat terkenal. Akira Kurosawa memfilmkan Rashomon dari karya Akutagawa. Keduanya, baik buku dan filmnya mendapat pengakuan luas di dunia.

Karya-karya terpilih Ryunosuke Akutagawa adalah
‘Rashomon’, 1915,
 ‘Hana’, 1916 – The Nose,
‘Imogayu’, 1916,
 ‘Ogata Kanzai no oboegaki’, 1917 – Ogata Ryosai’s Memo,
‘Aru hi no Oishi Kuranosuke’, 1917 – A Day in the Life of Oishi Kuranosuke,
‘Karenosho’, 1918 – From Withered Fields,
‘Kumo no ito’, 1918 – The Spider’s Thread,
‘Jigoku hen’, 1918 – The Hell Screen,
‘Hokyonin no shi’, 1918 – Death of a Christian,
‘Kirinutsohoro shonin-den’, 1919 – The Story of St. Christopher,
‘Aki’, 1920 – Autumn,
‘Butokai’, 1920 – The Ball,
‘Koshoku’, 1921 – Lechery,
‘Yabu no naka’, 1922 – In a Grove,
‘Hina’, 1923,
‘Shuju no kotoba’, 1923-25 – Words of a Dwarf,
‘Daidoji Shinsuke no hansei’, 1925 – The Early Life of Daidoji Shinsuke, Ume, uma, uguisu, 1926, ‘Genkaku sanbo’, 1927 – The House of Genkaku,
Kappa, 1927 – Kappa: A Novel,
‘Haguruma’, 1927 – Cogwheels, Bungeiteki na, amari bungeiteki na, 1927,
‘Aru ahö no issho’, 1927 – The Life of a Fool,
‘Seiho no hito’, 1927 – Man of the West, Tales of Grotesque and Curious, Akutagawa Ryunosuke Zenshu, 1934-35 (10 seri),
The Three Treasures and Other Stories for Children, 1944 (trans. by Sasaki Takamasa),
 Rashomon and Other Stories, 1952,
Japanese Short Stories, 1961,
Tu Tze-chun, 1964,
A Fools Life, 1970.



 ( dari berbagai sumber)

Cerpen: Hana

 cerpen Hana adalah salah satu cerpen terkenal yang dibuat oleh sastrawan Jepang  Akutagawa Ryunosuke

 HANA

Semua orang di Ikeno O (suatu kampung di pinggiran kota Kyoto) tidak ada yang tidak tahu tentang hidung Pendeta Naigu. Panjangnya sekitar 16 sentimeter, menjuntai dari bibir atas hingga ke bawah dagunya. Baik ujung maupun pangkalnya berbentuk sama besar. Pendek kata seperti sosis yang bergayut dari pertengahan wajahnya.

Usia Naigu sudah lebih dari 50 tahun. Sejak sebagai calon pendeta hingga menjadi pendeta kepala, batinnya sebenarnya tersiksa karena bentuk hidungnya itu. Tentu saja kesedihan itu tidak tampak pada roman mukanya, karena ia pikir sebagai pendeta tidak baik bila hanya memikirkan hidung melulu. Ditambah lagi dengan keinginannya masuk surge. Lebih daripada itu, ia tidak ingin orang lain mengetahui keadaan batinnya. Naigu merasa cemas dengan segala omongan orang tentang hidungnya dalam pembicaraan sehari-hari.
Naigu punya alasan berkenaan dengan hidungnya yang merepotkan itu. Salah satunya dengan kenyataan bahwa hidungnya yang panjang itu tidak praktis. Pertama-tama sewaktu ia makan tidak dapat melakukannya sendiri. Bila makan sendiri ujung hidungnya akan menyentuh nasi di dalam mangkuk. Karena itu, jika sedang makan Naigu menyuruh seorang muridnya untuk duduk di sampingnya dan mengangkat hidungnya dengan sebilah papan sepanjang kurang-lebih 60 sentimeter dan lebar sekitar lima sentimeter. Tapi, makan dengan cara demikian bagi Naigu maupun muridnya merupakan hal yang tidak mudah. Suatu kali, tangan seorang murid bernama Chudoji yang menggantikan murid yang biasanya membantu Naigu terguncang ketika bersin dan hidung Naigu terjatuh ke dalam mangkuk bubur. Cerita tentang jatuhnya hidung Naigu ke dalam mangkuk bubur itu tersebar sampai ke Kyoto. Meski demikian, tidak ada alasan kuat baginya untuk merasa sedih dengan kodrat hidungnya itu, walaupun sebenarnya batinnya sangat sedih karena hidungnya itu.
Orang-orang di Ikeno O mengatakan bahwa Naigu beruntung karena ia seorang pendeta, bukan orang biasa. Dengan hidung demikian, siapapun tentu akan berpikir tidak ada seorang perempuan pun yang bersedia menjadi istrinya. Di antara orang-orang itu ada pula yang mengatakan bahwa Naigu menjadi pendeta mungkin karena hidungnya itu. Naigu samasekali tidak merasa tenang dengan hidungnya, meskipun dirinya seorang pendeta. Naigu peka sekali terhadap persoalan hidup yang dihadapinya, seperti masalah perkawinan misalnya. Karena itu Naigu mencoba mengembalikan kehormatannya yang ternoda dengan berbagai cara.

Pertama-tama yang dipirkan Naigu adalah mencari cara agar hidungnya yang panjang itu menjadi tampak lebih pendek. Ketika tidak ada orang, ia menghadap ke cermin dengan serius sambil melihat wajahnya dari berbagai sudut. Terkadang tak puas hanya dengan mengubah letak, ia lantas menopang pipi dengan tangan, meletakkan jari di ujung dagu, dan terkadang pula ia melihat mukanya di cermin dengan sungguh-sungguh. Tapi, hingga sekarang, hidungnya tidak tampak cukup pendek hingga dapat memuaskan dirinya. Malah terkadang semakin dicemaskan hidungnya semakin terlihat bertambah panjang. Pada saat-saat demikian, sambil meletakkan cermin kembali ke dalam kotak, ia mengeluh seolah-olah itu adalah hal baru, dan lantas dengan berat hati ia kembali ke meja membaca kitab Kan On.

Setelah itu Naigu kembali terus-menerus memperhatikan hidung orang lain. Kuil Ikeno O adalah kuil yang sering mengadakan ceramah dan upacara-upacara lainnya. Di dalam kuil ini terdapat berderet-deret kamar para pendeta, dan setiap hari para pendeta memasak air panas di tempat pemandian. Karena itu, tempat tersebut banyak dilalui oleh para pendeta maupun orang biasa. Naigu memperhatikan wajah orang-orang yang berlalu-lalang itu. Ia cemas karena tidak melihat seorang pun yang hidungnya serupa dengan hidungnya. Lantaran itu, sampai-sampai ia tidak dapat membedakan antara pakaian berburu biru tua dengan pakaian musim panas yang putih. Apalagi penutup kepala oranye dan jubah abu-abu yang biasa mereka kenakan samasekali tidak tampak berbeda di matanya. Naigu tidak melihat orang, hanya hidungnya saja yang dilihatnya…. Meskipun ada yang berhidung mancung, tak ada seorang pun yang memiliki hidung seperti dirinya. Semakin tidak menemukan orang yang sama dengannya, semakin batinnya merasa tidak nyaman pula. Sewaktu berbicara dengan orang lain, tanpa sadar Naigu memegang ujung hidungnya yang menjuntai, wajahnya merah-padam karena malu merasa menjadi orang tua yang lupa umur. Tingkah lakunya digerakkan oleh perasaan yang samasekali tidak menyenangkan.

Naigu setidak-tidaknya akan merasa lega seandainya di dalam kitab Buddha dan kitab-kitab lain terdapat cerita tentang orang yang memiliki hidung yang sama dengan dirinya. Tapi, di dalam kitab suci manapun tidak terdapat tulisan yang mengisahkan tentang hidung Mokuren, seorang pengikut Buddha yang terkenal berhidung panjang. Tentu saja Ryuju dan Memyo memiliki hidung seperti orang biasa. Ketika mendengar bahwa di dalam cerita Cina terdapat kisah Ryugentoku dari Shokkan yang bertelinga panjang, ia tidak merasa lega. Ia akan merasa lega seandainya yang panjang itu adalah hidungnya.

Tidak perlu dijelaskan secara khusus di sini bahwa di satu sisi merasa puyeng dengan keadaan itu, ia juga aktif mencari cara untuk memendekkan hidungnya itu. Naigu sedapat mungkin berusaha melakukan hal itu. Ia pernah mencoba minum rebusan labu air, juga pernah mengolesi hidungnya dengan air kencing tikus. Tapi, bagaimanapun juga, hidungnya masih tetap menjuntai dari atas bibir atas kurang-lebih 16 sentimeter seperti semula.

Suatu ketika di musim gugur, salah satu muridnya yang pergi ke Kyoto atas suruhan Naigu bertemu dengan seorang tabib kenalannya yang mengajarkan cara memendekkan hidung. Tabib itu berasal dari Cina dan pernah menjadi Guso di Kuil Choraku.

Naigu, seperti biasa, tidak berkomentar apapun tentang usul itu dan pura-pura tidak memedulikan hidungnya. Di lain pihak, ia menggerutu karena setiap kali makan selalu menyusahkan muridnya. Tentu saja di dalam batinnya ia berharap muridnya itu akan mendesaknya untuk mencoba cara baru itu. Demikian pula, muridnya tahu persis apa yang sebetulnya diinginkan oleh Naigu. Murid itu, sebagaimana dikehendaki oleh Naigu, mendesaknya untuk mencoba cara itu. Selanjutnya Naigu sendiri, sesuai harapannya, akhirnya menerima anjuran yang sungguh-sungguh itu.

Caranya sangat sederhana, yakni hanya dengan mencelupkan hidungnya ke dalam air panas, kemudian diinjak-injak dengan kaki. Setiap hari mereka merebus air di pemandian kuil. Murid itu menuangkan air sangat panas ke dama ember yang diambil dari tempat pemandian. Saking panasnya sampai-sampai ia tak sanggup mencelupkan tangan ke dalamnya. Karena khawatir bila langsung mencelupkan hidung ke ember wajah Naigu akan melepuh, mereka membuat lubang di baki yang diletakkan di atas ember yang penuh dengan air panas sebagai tempat masuk hidung. Dengan hanya mencelupkan hidung ke dalam air yang sedang mendidih, maka panasnya tidak terasa di wajah. Beberapa saat kemudian murid itu berkata, “….Sudah saatnya direbus.”
Naigu tersenyum kecut, karena terbayang jika ada orang yang mendengarnya tentu tak akan berpikir bahwa yang sedang dibicarakan itu adalah hidung. Setelah direndam di dalam air yang sangat pans, hidung itu terasa gatal seperti digigit kutu. Dengan sekuat tenaga murid itu mulai menginjak-injak hidung Naigu yang masih mengepulkan asap karena baru saja dikeluarkan dari lubang baki. Naigu berbaring miring dan meletakkan hidungnya di atas yukaita; saat itu ia melihat kaki muridnya bergerak naik turun di depan matanya. Terkadang murid itu merasa kasihan, dan sembari melihat kepala botak Naigu ia berkata,
“Apa tidak terasa sakit? Tabib menyuruh menginjak dengan keras. Tapia pa tidak sakit?”
Naigu berusaha menggelengkan kepalanya sebagai tanda bahwa ia tidak merasa kesakitan. Tapi karena hidungnya sedang diinjak-injak, maka ia tidak bisa menggelengkan kepala seperti yang dikehendakinya. Sambil menatap kaki muridnya, yang kulitnya pecah-pecah, dengan membelalakkan mata ia menjawab dengan suara yang terdengar marah.
“Tidak sakit!”
Sebenarnya, sewaktu diinjak-injak pada bagian yang gatal, hidungnya justru terasa lebih enak daripada terasa sakit.setelah diijak0injak beberapa waktu maka mulai keluarlah semacam butiran-butiran jewawut. Dapat dibilang hidung Naigu seperti burung yang dipanggang setelah dicabuti bulunya. Ketika melihat hal itu, sang murid berhenti menginjaknya dan berkata seperti kepada diri sendiri, “Katanya supaya dicabuti dengan pencabut bulu.”

Naigu hanya menggelembungkan pipinya seperti tampak kesal, namun ia tetap membiarkan tindakan muridnya. Tentu saja karena ia mengetahui kebaikan hati muridnya. Walaupun demikian, bukan berarti ia senang hidungnya diperlakukan bagai benda mati. Dengan roman muka seperti pasien yang sedang dioperasi oleh dokter yang tidak meyakinkan, ia mengamati muridnya yang sedang mencabuti butiran lemak dengan pencabut bulu. Lemak itu berbentuk seperti tangkai bulu burung, dan panjangnya sekitar satu sentimeter.
Setelah selesai, dengan wajah terlihat lega si murid akhirnya berkata, “Saya kira sebaiknya direbus sekali lagi.” Dengan muka masam Naigu menuruti perkataan muridnya.

Singkat cerita, setelah direbus untuk kedua kalinya, dan lemaknya dicabuti keluar, maka benar juga hidung itu menjadi pendek. Tak ubahnya seperti paruh burung betet. Naigu mengusap hidungnya yang memendek, dan dengan ragu dan malu-malu dilihatnya di dalam cermin yang diberikan oleh muridnya.
Hidungnya… yang semula menjuntai hingga ke bawah dagu, hamper tak dapat dipercaya, kini menyusut menjadi kecil, menempel di atas bibir atas. Di sana-sini tampak bintik-bintik merah bekas injakan kaki. Bila seperti ini tentu tidak aka nada lagi orang yang menertawakannya. Wajah yang ada di dalam cermin memandang wajah Naigu yang ada di luar cermin, kemudian mengerdipkan mata tanda puas.

Tapi hari itu, baru hari pertama, ia merasa gelisah, takut kalau-kalau hidungnya memanjang kembali. Maka baik sewaktu membaca sutra maupun sewaktu makan, juga setiap ada kesempatan, diam-diam ia mengangkat tangan untuk meraba ujung hidungnya. Tentu saja hidungnya tetap bertengger dengan apiknya di atas di atas bibir atas, tak ada tanda-tanda akan bertambah panjang kembali. Selain itu ketika bangun di pagi hari, yang mula-mula dilakukannya adalah meraba hidung. Hidungnya masih tetap pendek. Maka ia merasakan kebahagiaan yang sudah bertahun- tahun tak dirasakannya, seperti ketika berhasil menyalin sutra.

Tapi dalam dua-tiga hari berikutnya, Naigu mengalami perkembangan yang tidak terduga. Yakni bertepatan dengan datangnya seorang samurai ke Kuil Ikeno O untuk suatu keperluan. Dengan raut wajah seperti merasa aneh, dan tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia hanya memandangi hidung Naigu saja. Tak hanya itu, Chudoji, yang pernah menjatuhkan hidungnya ke dalam bubur, ketika berpapasan dengan Naigu di luar ruangan mula-mula memandang ke bawah menahan rasa geli, tapi akhirnya gelak tawanya pecah tak tertahankan lagi. Tak hanya satu-dua kali saja terjadi, pendeta-pendeta pembantu yang diberinya perintah mula-mula mendengarkan dengan hormat saat berhadapan dengannya, tapi kemudian tertawa terpingkal-pingkal setelah membelakanginya.

Mula-mula Naigu mengira hal itu terjadi karena ada perubahan di wajahnya. Tapi dugaannya meleset, ia tidak mendapat penjelasan yang tuntas…. Tentu saja penyebab Chudoji dan pendeta-pendeta pembantu tertawa adalah karena perubahan itu. Meskipun sama-sama tertawa, tampak berbeda dibandingkan dulu ketika hidungnya masih panjang. Kalau dikatakan bahwa hidungnya yang pendek itu, yang tidak biasa mereka saksikan, lebih menggelikan ketimbang hidungnya yang panjang seperti sebelumnya, itu sudah keterlaluan. Tapi, rupanya lebih daripada itu.
“….Selama ini mereka tidak pernah tertawa secara terbuka seperti itu.”
Ada kalanya Naigu ngedumel seperti itu, lalu berhenti mengkaji kitab sutra yang baru dibacanya, sambil memiringkan kepalanya yang botak. Kalau sudah begitu, Naigu yang mestinya penuh kasih-sayang tampak tak tenang, dan sambil memandang gambar Fugen yang tergantung di sebelahnya, ia terbuai oleh lamunan ketika hidungnya masih panjang empat-lima hari lalu. Naigu bermuram durja mengenang masa jayanya, yang sekarang mereka rendahkan…. Tapi sayang, Naigu tidak dapat memecahkan persoalan ini.

Dalam hati manusia ada dua perasaan yang saling bertentangan. Tentu saja tidak ada seorang pun yang tidak bersimpati terhadap nasib malang orang lain. Tapi jika ada orang yang ingin berusaha mengatasi nasibnasib buruknya, maka aka nada orang yang tidak suka. Kalau sedikit dilebih-lebihkan, bahkan ada orang yang ingin agar orang yang bernasib malang itu tetap malang, dan bahkan ingin menjerumuskannya. Tanpa sadar berarti orang itu secara pasif sudah menaruh rasa permusuhan kepadanya…. Hal yang entah mengapa membuat Naigu jengkel walaupun tak tahu sebabnya, tidak lain adalah sikap para pendeta dan orang-orang biasa di kuil Ikeno O; ia hanya dapat merasakan egoisme orang-orang itu tanpa menjerumuskannya.
Dengan demikian tiap hari Naigu semakin merasa kesal. Dimakinya setiap orang yang dirasa menjengkelkan. Karena perbuatannya itu, bahkan muridnya yang telah merawat hidungnya itu akhirnya mengumpat dan mengatakan bahwa Naigu pantas mendapatkan hukuman atas perbuatannya itu. Chudoji yang jahillah yang sebetulnya membuat dia sangat kesal dan marah.

Suatu hari, ketika terdengar anjing manyalak keras Naigu pergi keluar. Tanpa sengaja ia melihat Chudoji sedang megejar-ngejar anjing kerempeng dengan mengayunkan tongkat sepanjang sekitar 70 sentimeter di tangannya. Tidak hanya itu, ia mengejarnya sambil mengolok-olok, “Awas kupukul hidungmu! Awas nanti kupukul hidungmu.” Naigu merampas tongkat dari tangan Chudoji dan memukulkan ke wajahnya. Tongkat itu adalah tongkat yang dulu dipakai untuk menyangga hidungnya.
Naigu, sebaliknya, merasa menyesal telah memaksakan diri memendekkan hidung.

Pada suatu malam, tiba-tiba berisik suara denting lonceng-lonceng di menara kuil karena hempasan angin kencang terdengar oleh Naigu di pembaringan. Lebih daripada itu, udara terasa sangat dingin. Naigu yang sudah tua itu ingin tidur tapi tidak bisa. Dalam keadaan berbaring tapi tak bisa tidur itu tiba-tiba ia merasakan gatal-gatal pada hidungnya. Ketika diraba terasa hidungnya itu membengkak seperti berisi air. Bahkan sepertinya terasa agak panas.
“Karena saya memendekkannya dengan paksa, mungkin malah menyebabkan sakit.”
Ia menggumam sambil dengan khidmat menekan hidungnya, seperti ketika sedang membakar dupa dan menyajikan kembang kepada sang Buddha.

Keesokan harinya, ketika Naigu bangun pagi-pagi sekali seperti biasa, ia melihat daun-daun pohon Ginko dan Tochi berguguran di taman kuil hingga halaman itu berkulauan bagai disepuh emas. Mungkin disebabkan oleh embun yang turun dari atap menara, Sembilan lingkaran logam yang ada di situ berkilauan terkena cahaya mentari pagi yang masih agakredup. Zenchi Naigu berdiri di serambi sambil menggulung tirai jendela ke atas, lalu menghela nafas panjang.
Saat itulah sekali lagi muncul perasaan yang sudah hamper dilupakannya.
Naigu buru-buru meletakkan tangannya ke hidung. Yang teraba bukanlah hidung pendek seperti malam sebelumnya, melainkan hidungnya yang dulu, yaitu hidung panjang yang menjuntai 16 sentimeter dari atas bibir atas hingga ke bawah dagunya. Kini ia sadar bahwa hidungnya itu telah memanjang seperti sediakala dalam semalam. Bersamaan dengan itu, entah dari mana, perasaan lega seperti ketika merasakan hidungnya menjadi pendek muncul kembali.
“….kalau seperti sekarang tentu tidak akan ada orang yang menertawakanku lagi,” bisik Naigu dalam hati, sambil mengibaskan hidungnya yang panjang agar diembus sejuknya angin pagi musim gugur.
Catatan :
  • Guso : Nama salah satu jabatan di kuil
  • Yukaita : Lantai papan

(sastrabudayajepang.wordpress.com)