Tuesday, October 11, 2011

Biografi Abe Tomoji


Abe Tomoji merupakan sastrawan lulusan Tokyo Daigaku jurusan Bahasa Inggris. Ia datang ke Indonesia sebagai propaganda Jepang pada usia 39 tahun bersama sastrawan Jepang Kitahara Takeo dan pelukis/ kartunis Ono Saseo. Ia merasa sangat beruntung saat terpilih sebagai barisan propaganda. Di Indonesia, ia merasakan seorang sastrawan yang sangat terkenal pun kedudukannya sama dengan rakyat biasa.

Pada saat itu, kota yang menarik di Asia hanya Shanghai dan Batavia. Tentu saja Abe Tomoji sangat beruntung bisa mengunjungi negara yang dijajah oleh bangsa Eropa. Abe Tomoji yang saat itu merasa bahwa Jawa adalah surga dunia, menuangkan pikiran tersebut pada sebuah novel.

Setahun setelah kedatangannya di Jawa, ia menulis sebuah cerita bersambung di majalah yang berjudul tabi bito yang menceritakan hubungan antara Jepang dan Belanda. Novel-novel yang ditulis oleh Abe Tomoji terkenal sangat historis, dan bagusnya tulisan Abe Tomoji konon membuat bangsa Jepang menjajah Indonesia. Novel-novel yang ditulis oleh Abe Tomoji di antaranya, shi no hana, tsumi no hi, saru, dan alamanda. Novel Saru menggunakan kebun binatang Surabaya sebagai settingnya.

Pada bulan Mei 1942, ia bersama Ono Saseo melakukan perjalanan ke Bogor, Batavia, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Bali, Malang, Semarang, dan Cirebon. Perjalanan Abe Tomoji ke Selekta, Malang, dituangkan ke dalam sebuah novel Shi no Hana.

Simpulan yang dapat ditarik dari karya sastra Abe Tomoji adalah:

1. Bagaimana ia merasa bertanggung jawab terhadap terjadinya perang-perang di Indonesia.

2. Bagaimana ia merasa berdosa telah berhubungan intim dengan banyak wanita.

3. Bagaimana ia melihat sastrawan Jepang mengomentari pengamatan tentang budaya.

Biografi Ono Saseo

Ono Saseo merupakan seorang kartunis/pelukis yang datang ke Indonesia bersama Abe Tomoji dan Kitahara Takeo sebagai barisan propaganda Jepang. Pelukis yang mempunyai empati yang sangat tinggi ini masuk ke Jawa pada usia 37 tahun. Ia mempunyai peribahasa tentang Jawa, yaitu “3 hal yang paling menakutkan di pulau Jawa adalah demam berdarah, maaria dan Ono Saseo”.Tautan

Ono Saseo sering menjadi model dalam novel Abe Tomoji. Salah satunya adalah Shi no Hana. Dalam novel tersebut ada tokoh yang bernama Kibi yang merupakan seorang pelukis. Pada bulan Mei 1942, ia bersama Abe Tomoji melakukan perjalanan ke Bogor, Batavia, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Bali, Malang, Semarang, dan Cirebon.

Hal yang telah dicapai Ono Saseo selama di Jawa adalah, pada tahun 1943 ia bekerja di pusat kebudayaan Jepang sebagai fasilitator atau pemuka dalam bidang lukisan, dan yang menjadi asistennya adalah seorang warga Indonesia bernama Agus Sujaya. Yang menjadi prinsip utama Ono Saseo dalam melukis adalah kebebasan. Meskipun ia berada dalam jajaran propaganda Jepang, ia tetap mengutamakan prinsipnya.

Yang membedakan karyanya dengan Abe Tomoji adalah, karya Abe Tomoji mempunyai batasan dalam menulis. Ia hanya menulis karya yang berlatar daerah yang dijajah. Selama di Indonesia Ono Saseo banyak melukis tentang kebudayaan dan alam Indonesia. Salah satu karyanya pernah diterbitkan di Jawa Shinbun pada tahun 1945, sesaat setelah Jepang kalah perang dengan sekutu. Sayangnya tidak banyak lukisan-lukisan yang bisa dibawa Ono Saseo kembali ke Jepang.

Saturday, September 17, 2011

SHOYU


Shoyu atau kecap asin adalah hasil fermentasi dari kedelai, gandum, air, garam, dan jamur koji. Hampir setiap masakan Jepang menggunakan shoyu sebagai bumbu atau pelengkap. Sehingga sulit membayangkan bila masakan Jepang tanpa tambahan shoyu. Di atas meja makan rumah-rumah di Jepang, shoyu diletakkan di atas meja makan agar dapat digunakan setiap waktu.

Untuk membuat shoyu pertama-tama kedelai, gandum, dan garam ditambahkan ke dalam air. Air asin dan zat fermentasi kemudian dicampurkan. Setelah menjadi bubur, yang dikenal dengan moromi, dibiarkan meragi selama beberapa bulan, kemudian diperas dengan kain. Pada tahap akhir, cairan yang tersisa dipanaskan untuk membunuh bakteri.

Ada tiga jenis utama shoyu :

1. koi-kuchi, shoyu dengan rasa kuat dan warna yang gelap

2. usu-kuchi, mempunyai warna yang lebih muda dan rasa yang lebih ringan, dan tidak mengubah warna makanan.

3. tamari, dengan kandungan kacang kedelai yang lebih tinggi dan lebih sedikit garam.

Menurut sebuah tradisi Jepang, teknik pembuatan shoyu dibawa oleh seorang pendeta Zen yang pergi ke Cina pada abad ke-13. Cairan yang keluar dari sayuran yang diawetkan dalam miso ini adalah sejenis kecap asin, yang dikatakan, adalah asla mula dari tamari, jenis kecap asin yang ketiga. Kecap asin ini mulai diproduksi pada tahun 1500-an di daerah Kyoto dan Osaka. Persamaan antara pembuatan shoyu dan miso adalah penggunaan kedelai yang difermentasikan dengan jamur Koji.

Miya Keichiro dalam Nipponia mengatakan bahwa perusahaannnya masih memproduksi shoyu dengan menggunakan metode tradisional yang mengambi keuntungan dari perubahan suhu yang alami untuk mendapatkan rasa yang terbaik. Perusahaannya dapat memproduksi shoyu secara masal tetapi itu bukan ambisinya karena ia lebih menginginkan shoyu yang sangat baik rasasa dan mutunya.