Friday, September 15, 2017

Aikido



Aikido adalah seni beladiri yang bersifat defensif (bertahan), tidak mengutamakan kekuatan otot tapi kelenturan dan kecepatan gerak. Secara harfiah, aikido berasal dari kata “Ai” artinya penyelarasan, integrasi atau harmoni. Kata “Ki” artinya pusat energi hidup atau spirit. Dan kata “Do” artinya jalan. Sehingga aikido bias diterjemahkan sebagai jalan untuk membentuk kesatuan harmoni antara fisik, rohani, dan pikiran.

Dalam aikido juga mengenal istilah naik tingkat seperti karate, judo  atau seni beladiri lainnya. Tingkat tertinggi dalam International Aikido Federation (IAF) saat ini adalah Dan 9. Namun ada beberapa ahli aikido dengan tingkatan Dan 10 karena diberikan oleh ahlinya langsung, Ueshiba Morihei, sebelum dia wafat.


Ueshiba Morihei

Tingkatan dalam aikido terdiri dari dua bagian yaitu:
1.  Kyu (mudansha I yukyusha)
Tingkat Kyu 5 sampa Kyu 4 menggunakan sabuk putih, dan Kyu 3 sampai Kyu 1 menggunakan sabuk cokelat

2. Dan (yudansha)
Dan 1 sampai Dan 10 menggunakan sabuk hitam.


Teknik-teknik aikido sebagai seni beladiri perkelahian cepat jarak pendek banyak dipengaruhi oleh teknik bantingan judo, kodokan jigoro kano, teknik kuncian jujutsu gaya sokaku takeda , teknik pedang (kenjutsu) dan teknik toya berpedang (yarijutsu). Pada umumnya, aikido tidak menggunakan tendangan kaki, namun dalam dalam hal-hal khusus teknik kaki (ashiwaza) juga diajarkan.
Seni beladiri ini memiliki empat pola dasar latihan yaitu :
·         Tachiwaza (teknik berdiri melawan berdiri)
·         Suwariwaza (teknik duduk melawan duduk)
·         Hanni handachi (teknik duduk melawan berdiri)
·         Kaeshi waza (teknik dengan membuka serangan terlebih dahulu)

Dalam aikido juga memiliki teknik naga waze (melempar atau membanting) dan teknik katame waza (kuncian)


Sejarah
Aikido pertama kali diperkenalkan secara luas oleh Ueshiba Morihei (1883-1969) yang oleh para praktisi aikido dijuluki sebagai “O sensei”. Menurut catatan laman institutaikidoindonesia.com, dia mengembangkan aikido berdasarkan seni beladiri lain yang dipelajarinya saat masih muda. Dia mempelari Kito Ryu Jujutsu, ilmu pedang Yagyu Ryu, Aioi Ryu Hozoin Ryu, jujutsu, spear fighting, judo, kendo dan seni beladiri yang menggunakan bayonet. Menguasai banyak seni beladiri membuatnya disegani di Jepang.

Akhirnya Ueshiba Morihei paham bahwa seni beladiri bukan untuk mengalahkan lawan dan merusak, namun harus selaras dengan ‘Ki’ energi  dan alam semesta. Dia pun menyimpulkan bahwa aikido bukanlah teknik untuk berkelahi atau mengalahkan lawan, melainkan untuk membuat dunia ini damai dan seluruh manusia di bumi menjadi satu keluarga.

Dengan bakat yang begitu besar, Ueshiba berhasil  menyebarkan muridnya ke seluruh dunia untuk memperkenalkan keindahan ilmu aikido. Saat ini seni beladiri tradisional ini telah berkembang sekurang-kurangnya ke 93 negara di Asia, Eropa, Amerika, Australia, dan sebagian Afrika.

Sementara di Indonesia, aikido mulai dikenal pada tahun 1960-an yang konon dibawa oleh para pelajar Indonesia yang menuntut ilmu di Jepang. Perkembangan aikido dan seni beladiri impor lainnya dari Jepang di sini sebetulnya kurang lebih sama. Namun kempo, karate, jujutsu dan judo lebih dulu popular disbanding aikido. Faktanya, aikido mulai berkembang di tanah air sejak tahun 1990-an.

Secara istilah ‘Aikido Indonesia’ pertama kali digunakan oleh Perguruan Aikido Indonesia di bawah naungan Yayasan Keluarga Beladiri Indonesia (KBAI). Yayasan ini terbentuk pada 1994. Seiring berjalannya aikido di Tanah Air, maka terbentuklah Institut Aikido Indonesia (IAI) pada 2004 untuk turut mengembangkan aikido di negeri ini.




Sumber:

Halo Japan! Edisi Mei 2017

Shamisen

Di Negeri Sakura, shamisen kerap digunakan sebagai san-gen terutama saat digunakan untuk mendukung musik di era yang lebih modern.

Khusus di Okinawa, pulau paling selatan Jepang, bentuk instrument ini sedikit berbeda dan dikenal sebagai shasin. Baik shamisen maupun shasin umunya tak terlalu diminati anak muda Jepang karena dianggap kurang keren dan kurang modern.

Menurut promusica.or.jp, shamisen digolongkan dalam ‘keluarga lute’, karena memiliki leher panjang, tiga dawai (senar) dan tingkat ketebalan dawai yang berbeda. Dawai paling tipis akan menghasilkan bunyi paling tinggi. Sebaliknya, dawai paling tebal akan menghsilkan bunyi paling rendah.

Shamisen mempunyai bentuk yang menyerupai gitar, hanya saja badan shamisen berbentuk segi empat, bukan bulat seper gitar. Bagian badan dalamnya disebut do. Shamisen terbuat dari kayu, yang bagian depan dan belakang badannya dilapisi kulit hewan. Biasanya yang sering dipakai adalah kulit anjing.

bagian-bagian shamisen


Di Jepang ada beragam jenis shamisen. Setiap shamisen memiliki ukuran leher dan tubuh yang berbeda. Ada shamisen yang memiliki leher tipis (hosozao shamisen) disebut juga nagauta shamisen. Ada shamisen yang berleher tebal (futozao shamisen) disebut juga Tsugaru shamisen karena kerap dimainkan di wilayah Tsugaru. Bentuk leher beragam ini juga membedakan nada yang dihasilkan. Sementara yang berleher sedang  (chuzao shamisen) kadang dirujuk sebagai jiuta shamisen.

hosozao shamisen

futozao shamisen

chuzao shamisen





Perkembangannya

alat musik koto

Dilihat dari sejarahnya, alat musik yang kerap disamakan dengan koto –instrumen petik khas Jepang yang lain- ini sejak dulu dikenal sebagai alat musik yang merakyat. Berbeda dengan koto yang awalnya hanya boleh dimainkan di kalangan istana.

Shamisen diperkenalkan sekitar tahun 1652 di Pelabuhan Sakai, dekat Osaka. Sebelumya dikenal sebagai sanxian di Tiongkok. Alat musik ini sampai ke kerajaan Rukyu melalui hubungan perdagangan dengan kerajaan Fuzhou.

geisha memainkan shamisen

Shamisen tertua yang hingga kini masih ada merupakan hasil perajin Kyoto yang dinakaman yudo. Shamisen ini dibuat khusus atas perintah Hideyomi Toyotomi (pemimpin Jepang di zaman Sengoku) untuk dihadiahkan kepada sang istri. Bentuk yodo tidak jauh berbeda dengan shamisen yang ada sekarang ini. Perkembangan shamisen di negeri dengan banyak prefektur ini juga tak lepas dari salah satu pemusik tunanetra bernama Ishimura Kengyo. Ia berjasa membantu mengembangkan teknik permainan shamisen hingga digemari rakyat banyak. Di awal zaman Edo (1603-1867), Ishimura memelopori genre music dengan jiuta shamisen. Shamisen juga turut diperkenalkan oleh para geisha di zamannya. Mereka wajib memainkan alat musik ini untuk menghibur tamu. Hingga kini shamisen kerap dipertontonkan dalam berbagai festival budaya, konser musik, pentas tari dan teater serta pertunjukan tradisional lain di Jepang.


Sumber:

Tabloid Halo Jepang! Edisi Agustus 2017

Thursday, September 7, 2017

Kochi University of Technology


Kochi University of Technology (KUT) berdiri pada 1 April 1997 sebagai universitas swasta. Dua tahun kemudian statusnya berubah menjadi universitas publik dengan dukungan dana dari pemerintah Prefektur Kochi. Perubahan status ini membuat KUT berkembang pesat. Berpengalaman sebagai universitas swasta membuat KUT inovatif dan independen, termasuk pengelolaan finansialnya.

Perubahan status ini dibarengi pula dengan reorganisasi sehingga KUT memiliki lima departemen untuk jenjang sarjana yaitu School of System Engineering, School of Environmental Science and Engineering , School of Information, School of Economic & Management dan School of Management. Perubahan terjadi pada fakultas teknik yang dipecah menjadi tiga sekolah yakni School of System Engineering, School of Environmental Science and Engineering, serta school of Information. KUT juga memiliki sekolah untuk magister dan doktoral.


Kreatif
Untuk menjadi universitas berkelas dunia,  kampus tersebut meluncurkan KUT Advanced Program sejak April 2014. Program itu untuk mengembangkan mahasiswa di tingkat sarjana agar menjadi pelopor globlal melalui program unik. Kampus tidak memiliki program wajib karena menghargai otonomi mahasiswa. Sistem pendidikan yang diterapkan KUT ini terbilang progresif dan merupakan hal baru di kalangan kampus Jepang. Mereka tidak terikat pada kurikulum konvensional.

Fasilitas yang dimilki KUT sangat mendukung dalam proses belajar mengajar. Kampus KUT ada dua yaitu di Kami dan Eikokuji (di tengah kota Kochi). Kampus Kami tempat belajar mengajar untuk jurusan School of System Engineering , School of Environmental Science and Engineering, dan School of Information. Sedangkan kampus Eikokuji tempat belajar jurusan School of Economics & Management.

Kedua kampus memiliki fasilitas sama lengkapnya seperti perpustakaan, gimnasium, kantin dan laboratorium. Untuk layanan kesehatan, setiap tahun diselenggarakan test kesehatan (general check up) untuk seluruh mahasiswanya. Dengan fasilitas lengkap, kampus yang memiliki moto ‘a university where a person can grow’ (bukan ‘a university to develop people’) ini yakin bias melahirkan sarjana yang pintar sekaligus mampu memecahkan masalah di sekitarnya.

Masalah sosial
Prefektur Kochi memiliki dua masalah sosial yaitu menurunnya jumlah penduduk dan kelesuan ekonomi. KUT diharapkan mampu membantu pemerintah mengatasi masalah tersebut karena dua bidang yang digeluti KUT,  teknologi serta ekonomi & manajemen bersifat praktis. Sekolah Tinggi Ekonomi & Manajemen milik KUT di Eikokuji akan mendukung pengembangan di bidangn  ekonomi, kewirausahaan dan manajemen.  Keunggulan pendidikan, penelitian, dan kontribusi sosial menuntut hal baru dan orisinal serta kemampuan menginformasikan hal baru, sehingga menjadikan KUT tempat yang tepat untuk mengembangkan bakat dan potensi mahasiswa dalam menghadapi tantangan global.

Karena KUT berlokasi di Prefektur Kochi, biaya hidup pun lebih murah jika dibandingkan dengan Tokyo atau Kyoto. Untuk menyewa tempat tinggal, biaya yang dibutuhkan per bulannya sekitar 27.500 yen (kampus Kami) dan 40.000 yen (kampus Eikokuji). Biaya makan kira-kira 45.000 yen, transportasi dan komunikasi 20.000 yen serta biaya lain-lain25.000 yen. Dengan beasiswa per bulan 155.000 yen, mahasiswa KUT masih bisa hidup secara layak.








Sumber

Tabloid Halo Jepang! Edisi Mei 2017