Dahulu kala, tinggalah seorang pak tua yang baik hati yang memiliki benjolan seperti bola tenis yang tumbuh menonjol di pipi kanannya. Benjolan itu membuatnya jadi seperti orang cacat, dan yang begitu membuatnya tak nyaman sehingga selama bertahun-tahun pak tua banyak menghabiskan waktu dan uangnya untuk mencoba menyingkirkannya . Dia pun sudah bertanya pada banyak tabib dari segala penjuru, dan memakai semua jenisobat-obatan baik itu obat oles ataupun obat yang harus diminum. Tetapi semua upayanya itu tak ada yang behasil. Benjolan itu kian membesar sampai ukurannya hampir sebesar wajahnya, dan dengan putus asa akhirnya dia menyerah berharap bisa menghilangkannya.
Di suatu hari, kayu untuk perapian di dapurnya habis, jadi karena istrinya memintanya saat itu juga, maka pak tua mengambil kapaknya, lalu berangkat mencari kayu di perbukitan yang tak jauh dari rumahnya. Hari itu haru yang cerah di awal musim gugur, dan pak tua menikmati udara yang segar di saat itu dan tak sedang terburu-buru pulang ke rumah. Maka sepanjang sore itu berlalu dengan cepatnya sementara dia memotong-motong kayu, dan dia sudah mengumpulkan tumpukan kayu yang cukup untuk dibawa pulang ke istrinya. Saat hari mulai menjelang gelap, diapun berbalik menuju rumahnya.
Pak tua belum pergi terlalu jauh menuruni lembah di pegunungan itu ketika langit menjadi berawan dan hujan mulai turun deras. Dilihatnya berkeliling mencari tempat berlindung, tetapi disana bahkan tak ada satupun podok pembakar batu bara yang kelihatan. Akhirnya diperlihatkannya ada sebuah lubang besar dalam cekukan sebuah batang poho. Lubang itu berada dekat dengan tanah, maka dia merangkak masuk dengan mudahnya, lalu duduk dan berharap kalau itu hanya huja gerimis di gunung, dan berharap cuacanya segera cerah kembali.
Tetapi yang membuat pak tua kecewa, bukannya berubah cerah, tetapi hujan malah turun semakin deras, dan akhirnya badai guntur menerjang pegunungan itu. Petir saling menyambardengan suara gerungannya yang mengerikan, dan langit terlihat berkobar-kobar seolah-olah terbakar petir, dan paktua hampir-hampir tak percaya dirinya masih hidup saat itu. Dibayangkannya dia pasti sudah mati ketakuan. Namun akhirnya, langit pun cerah kembali dan seluruh daratan itu berkilau karena pendaran cahaya matahari yang muncul kembali. Semangat pak tua menyala lagi saat dilihatnya senjakala yang indah, dan dia baru saja melangkahkan kaki ke luar dari tempat berlindungnya yang aneh itu di dalam sebuah pohon yang bergua keika didengarnya suara seperti langkah-langkah kaki orang. Dia langsung menduga kalau teman-temannya pasti tengah mencarinya, dan dia merasa gembira membayangkan akan berjalan pulang bersama beberapa teman perjalanan yang riang. Tetapi saat melihat keluar dari dalam pohon, yang membuatnya tercengang saat melihatnya, itu bukanlah teman-temannya, tetapi ratusan jin yang kini mendatangi tempat itu. Semakin dipandangnya, semakin besar pula rasa keheranannya. Beberapa dari jin-jin itu ukurannya sebesar raksasa, yang lainnya memiliki mata yang luar biasa besarnya yang ukurannya sangat tidak berimbang dengan porsi ukuran tubuh mereka, jin yang lainnya lagi memiliki hidung yang panjangnya tak normal, dan beberapa lainnya memiliki mulut besar-besar yang saking lebarnya itu seperti mulut yang membuka dari telinga sampai ke telinga satunya lagi. Semuanya punya tanduk yang tumbuh di keningnya. Pak tua begitu tercengan pada apa yang dilihatnya sampai-sampai dia kehilangan keseimbangan lalu terjatuh ke luar dari lubang pohon. Untung baginya jin-jin itu tidak melihat dirinya, karena pohon itu letaknya di belakang. Lalu dia bangkit, dan merangkak masuk kembali ke dalam pohon.
Sementara dia duduk di dalam sana, dan bertanya-tanya dengan tak sabar menunggu saat dia bisa pulang, didengarnya suara alunan musik yang riang, kemudian beberapa jin itu mulai ada yang menyanyi.
"Apa yang sedang dilakukan jin-jin itu?" tanya pak tua pada dirinya sendiri. "Aku akan mencari tahu, kedengarannya sangat menghibur."
Saat mengintip, pak tua melihat kalau pemimpin jin-jin itu kini tengah duduk dengan punggungnya menyandar pada pohon tempat dimana dia berlindung, dan jin-jin lainnya semuanya duduk berkeliling, beberapa dari mereka ada yang minum-minum dan yang lainnya menari. Makanan dan minuman anggur digelar dihadapan mereka di tanah,dan jin-jin itu tampaknya benar-benar sedang berpesta dan tengah bersenang-senang.
Itu membuat pak tua tertawa melihat tingkah laku mereka yang aneh.
"Betapa menyenangkannya!" pak tua itu tertawa sendiri, "Aku memang sudah tua, tetapi aku belum pernah melihat yang aneh seperti ini seumur hidupku."
Pak tua kelihatannya begitu tertarik dan senang memandangi semua yang dilakukan jin-jin itu, sampai-sampai dia lupa lalu melangkah ke luar dari pohon dan berdiri terus memandangi mereka.
Kepala gerombolan jin itu tengah hendak meminum secangkir penuh sake dan menonton salah satu jin yang sedang menari. Tak lama kemudian dia berkata menunjukkan kebosanan:
"Tarianmu agak membosankan. Aku jenuh melihatnya. Apa ada di antara kalian yang bisa menari lebih baik dari dia ini?"
Nah... pak tua rupanya senang menari selama ini, dan cukup mahir di bidang tarian ini, dan dia yakin kalau dia bisa menari lebih baik dari para jin itu.
"Apakah sebaiknya aku keluar dan menari di hadapan jin-jin ini dan membuat mereka meihat apa yag bisa dilakukan seorang manusia? Tetap ini mungkin saja berbahaya, karena kalau aku tak bisa membuat mereka senang, mereka bisa membunuhku," kata pak tua pada dirinya sendiri.
Namun rasa takutnya tak lama kemudian terkalahkan oleh rasa kesukaannyayang begitu besar pada tarian. Beberapa saat kemudian, dia sudah tak bisa menahan diri lagi, lalu keluar berdiri di hadapan gerombolan jin dan dia pun langsung mulai menari. Pak tua menyadari kalau nyawanya bergantung apakah dia bisa menyenangkan hati makhluk-makhluk yang aneh ini atau tidak, lalu mengerahkan segala kemampuan dan akalnya sebaik-baiknya.
JIn-jin itu pertama-tamanya terheran-heran melihat manusia yang begitu tak mengenal takut ikut bergabung dalam pesta mereka, tetapi kemudian rasa heran mereka itu tak lama kemudian berubah menjadi kekaguman.
"Aneh sekali!" seru pemimpin bertanduk itu. "Aku belum pernah melihat penari sehebat ini sebelumnya! Dia menari dengan indahnya!"
Ketika pak tua selesai dengan tariannya, jin berbadan besar itu lalu kemudian berkata:
"Terima kasih atas tarianmu yang indah itu. Nah sekarang kau kami ajak minum sake bersama kami," dan setelah berkata demikian, diberikannya sebuah cangkir sakenya yang paling besar.
Pak tua lalu mengucapkan terima kasih dengan hormatnya:
"Hamba tak mengharap kebaikan yang begitu besar dari tuanku. Hamba khawatir hamba hanyalah mengganggu pesta tuan dengan tampilan tarian hamba yang tak seberapa indahnya ini."
"Oh...tidak...tidak<" jawab jin yang berbadan besra itu. "Kau harus sering-sering datang dan menari untuk kami."
Pak tua itu mengucapkan terima kasih dan berjanji akan melakukannya.
"Jadi, maukah kau datang lagi besok, pak tua?" tanya si jin.
"Tentu saja hamba bersedia datang," jawab pak tua.
"Tapi kau harus memberikan jaminan atas janji kau pada kami." kata si jin lagi.
"Apapun yang tuan kehendaki." ujar pak tua.
"Apa yang bisa kita ambil sebagai jaminan?" tanya si jin, memandang sekeliling.
Kemudian salah satu dari pelayan-pelayan jin berlutut di belakang pemimpinnya:
"Tanda yang dia tinggalkan untuk kita haruslah sesuatu yang paling penting yang dimilikinya. Hamba lihat pak tua mempunyai benjolan di pipi kanannya. Kaum manusia menganggap benjolan seperti itu pembawa keberuntungan. Tuanku bisa mengambil benjolan itu dari pipi kanan pak tua ini, dan dia pasti akan kembali esok hari untuk memintanya kembali."
"Kau cedas sekali," kata kepala jin, menganggukkan tanduknya tanda setuju. Kemudian dia merentangkan lengannya yang berbulu serta tangannya yang mirip cakar itu, lalu mengambil benjolan besar itu dari pipi kanan pak tua. Anehnya, benjolan itu lepas begitu mudahnya layaknya menarik buah plum matang dari pohonnya saat dipegang si jin, kemudian gerombolan jin periang itu mendadak lenyap.
Pak tua terbengong-bengong menyaksikan semua yang terjadi barusan. Selama beberapa saat dia hampir-hampir tak menyadari dimana dia kini berada. Ketika disadarinya apa yang telah terjadi padanya, dia begitu gembira kalau benjolan yang ada di wajahnya, yang telah selama beberapa tahun membuatnya menjadi cacat, telah betul-betul diambil tanpa merasakan sakit apapun. Diraba dengan tangannya untuk memeriksa apakah ada sisa luka codet yang tertinggal, tetapi disadarinya kalau pipi kanannya kini sama mulusnya dengan pipinya yang kiri.
Matahari telah lama terbenam, dan bulan baru telah muncul seperti sabit keperakan di angkasa. Pak tua mendadak menyadari betapa sudah malamnya saat itu dan bergegas pulang. Ditepuk-tepuk pipi kanannya berulang-ulang, seertinya mau meyakinkan dirinya kalau dia memang beruntung telah hilang benjolannya itu kini. Dia begitu gembiranya sampai-sampai dia ak bisa berjalan tenang-tenang. Dia berlari dan menari-nari di sepanjang jalan menuju rumahnya.
Dilihatnya istrinya sangat khawatir, bertanya-tanya apa yang telah menimpa suaminya sampai pulang begitu terlambat. Dia pun segera menceritakan pada istrinya semua yang dialaminya waktu dia pulang tadi sore. Istrinya juga merasa senang seperti sang suami saat diperlihatkan pada istrinya itu kalau benjolan jelek di wajahnya kini telah lenyap, karena di masa mudanya isrinya itu selalu membanggakan wajahnya yang tampan, dan baginya tentu sangat menyedihkan melihat benjolan itu tumbuh kian besar setiap harinya.
Di samping ruamah pasangan suami istri yang baik hati itu tinggalah seorang pak tua yang jahat dan pencemburu. Dia pun selama beberapa tahun terganggu dengan tumbuhnya benjolan di pipi kirinya, dan diapun juga telah berusaha melakukan segala upaya untuk menghilangkannya, tetapi sia-sia belaka.
Dia langsung mendengar, lewat pelayannya, mengenai keberuntugan yang dialami tetangganya yang kini sudah tak lai memiliki benjolan di wajahnya, maka dipanggilnya tetangganya itu mala itu juga dan dimintanya temannya ituuntuk menceritakan padanya semua yang berkaitan dengan lenyapnya benjolan itu. Pak tua yang baik hati itu menceritakan pada tetangganya yang berhati culas itu semua yang terjadi padanya. Digambarkannya tempat dimana ditemukanya pohon berlubang di mana di dalamnya dia bersembunyi, lalu menganjurkan pada tetangganya itu untuk berada di tempat itu di penghujung siang menjelang matahari terbenam.
Si tetangga kemudian berangkat langsung di esok siangnya, dan setelah mencari-cari sampai beberapa lama, akhirnya menemukan pohon berlubang tepat seperti yang digambarkan oleh temannya. Di sinilah kemudian dia menyembunyikan diri dan menunggu datangnya sinar bintang.
Tepat seperti apa yang diceritakan padanya, gerombolan jn datang di saat-saat itu dan mengadakan pesta dengan tarian dan nyanyian. Ketika acara itu berlangsung beberapa saat lamanya, kepala gerombolan jin itu memandang berkeliling dan berkata:
"Ini saatnyapak tua itu datang ke sini seperti yang dijanjikannyapada kita. Mengapa dia belum muncul-muncul juga?"
Ketika pak tua yang kedua itu mendengar pembicaraan itu, dia lari keluar dari tempat persembunyiannyadi pohon, lalu berlutut di hadapan sang Oni, sambil berkata:
"Hamba menunggu cukup lama sampai tuanku memberi titah!"
"Oh...kau pak tua yang kemarin itu," ujar si pemimpin jin. "Terima kasih atas kedatanganmu, kau harus segera menari untuk kami."
Pak tua itu bangkit berdiri dan membuka kipasnya dan mulai menari. Tetapi dia tak pernah belajar menari, dan tak tahu apa-apa soal gerak-gerik dan posisi tubuh yang berubah-ubah dalam tarian. Dipikirnya tak ada yang bisa menyenangkan para jin ini, maka dia pun lalu melompat lompat ke kiri dan ke kanan melambai-lambaikan tangannya lalu lalu menjejakkan kakinya berulang-ulang, meniru gaya tarian sebisa mungkin dari tarian apapun yang pernah dilihatnya.
Sang Oni merasa sangat kecewa melihat peragaan itu, lalu berkata pada yang lainnya:
"Jelek sekali dia menarinya hari ini."
Kemudian kepada pak tua itu si pemimpin jin berkata
"Penampilanmu hari ini agak berbeda dengan tarianmu kemarin. Kami tak mau melihat lagi tarianmu yang seperti itu. Kami akan kembalikan jaminan yang sudah kau berikan kepada kami. Kau harus pergi sekarang juga."
setelah berkata demikian, dikeluarkan dari lipatan gaunnya benjolan yang telah diambilnya dari wajah pak tua yang menari dengan begitu indahnya di hari sebelumnya, lalu melemparkannya ke pipi kanan si pak tua itu yang berdiri di hadapannya. Benjolan itu langsung menempel erat di pipinya seolah-olah benjolan itu memang sudah tumbuh disana sebelumnya, dan semua upaya untuk melepaskannya sia-sia belaka. Pak tua yang licik itu, bukannya kehilangan enjolan di pipi kirinya seperti yang diharapkannya, menyadari dengan sedihnya kalau kini dia malah menambah satu lagi benjolan di pipi kanannya dalam upayanya menghilangkan benjolan yang sudah terlebih dulu ada.
Diletakkan tangannya satu dan satunya lagi masing-masing di wajahnya untuk memastikan kalau-kalau dia tak tengah bermimpi buruk. Tetapi tidak, bsa dirasakannya kini ada benjolan besar di sisi kanan wajahnya seperti yang ada di pipi kirinya. Para jin itu semuanya kini telah menghilang, dan tak ada lagi baginya yang bisa dilakukannya kini kecuali kembali pulang ke rumah. Dia terlihat sangat menyedihkan, karena wajahnya dengan dua benjolan, masing-masing satu di pipinya, membuatnya persis seperti labu jepang.
Diambil dari buku Dongeng Klasik Jepang yang ditulis oleh Yei Theodora Ozaki
0 comments:
Post a Comment