Dahulu kala di Jepang, tinggalah seorang pak tua dan istrinya. Si pak tua adalah seorang pria tua yang baik, berbudi, dan pekerja keras. Tetapi istrinya perempuan yang sangat cerewet, yang bisanya merusak kehangatan rumahnya sendiri lewat kata-katanya yang kasar. Dia selalu marah-marah dari pagi sampai malam hari. Pak tua itu sudah sejakn lama tak lagi peduli segala kebawelan istrinya. Pak tua menghabiskan waktu siang harinya bekerja di ladang, dan karena dia tak memiliki anak, maka sebagai hiburannya saat dia pulang ke rumah, dipeliharanya seekor burung nuri. Pak tua begitu menyayangi si burung kecil seolah-olah itu anaknya sendiri.
Saat pak tua pulang di malam hari setelah seharian bekerja keras di udara terbuka, hiburan satu-satunya adalah memanjakan si burung nuri kecil, mengajaknya bisara dan mengajarinya beberapa trik, yang bisa dimengerti cepatsekali oleh si burung kecil. Pak tua akan membuka sangkarnya dan membiarkan si burung mungil terbang di dalam kamar, dan mereka berdua akan bermain-main bersama. Lalu ketika saat makan malam tiba, pak tua akan menyisihkan remah-remah dari makanannya untuk makanan burung kecil kepunyaannya itu.
Di suatu hari, pak tua tengah pergi memotong kayu di hutan, dan istrinya mampir di rumah untuk mencuci baju. Sehari sebelumnya, dia telah membuat tepung kanji, dan ketika dia tengah mencarinya, tepung kanji itu semuanya sudah tak ada lagi, dan lesung yang sudah diisinya penuh kemarin sekarang kosong.
Waktu dia tengah menduga-duga siapa gerangan yang telah mengambil atau mencuri tepung kanjinya, terbanglah mendekat si burung nuri, dan sambil merunduk membungkukkan kepala mengilnya yang berbulu, trik yang diajarkan tuannya, si burung molek itu mencicit sambil berkata:
"Akulah yang mengambil tepung kanji itu. Kukira itu makanan yang disediakan untukku di mangkuk itu, lalu kumakan habis semuanya. Kalau aku berbuat salah, ampuni aku! Cit...cit...cit...!"
Bisa dilihat kalau burung itu adalah burung yang jujur, dan seharusnya istri pak tua bersedia memaafkannya ketika si burung sudah minta maaf dengan sopannya. Tetapi tidak demikian yang terjadi.
Istri pak tua tak pernah menyayangi si burung nuri, malah sering bertengkar dengan suaminya karena memelihara piaraan yang disebutna burung yang mengotori seluruh rumah, sambil berkata kalau pekerjaannya bertambah dengan kehadiran si burung. Sekarang dia merasa senang karena kini punya alasan menentang kehadiran burung peliharaan suaminya itu. Dibentak-bentaknya burung kecil itu bahkan dicetuskannya sumpah serapah atas kelakuan buruk si burung, dan masih tak puas berkata-kata kasar, kata-katayang menyakitkan hati, karena dirasuki murka dicekiknya si burung nuri itu, yang selama dibentak-bentak telah merentangkan sayapnya membungkuk hormat di hadapan istri pak itu, untuk menunjukkan betapa menyesalnya dirinya, lal mengambil guning dan memotong lidah si burung kecil yang malang itu.
"Pasti kau mengambil tepungku memakai lidah itu, kan? Nah sekarang rasakan hidup tanpa lidah itulagi!" Dan sambil mencaci kasar seperti itu, diusirnya si burung pergi, tak peduli sama sekali apa yang akan menimpa si burung kecil, dan tanpa merasa kasihan sama sekali atas penderitaan yang dialami si burung kecil. Begitu kejamnya dia!
Istri pak tua setelah mengusir pergi si burung nuri, membuat lagi adonan tepung kanji, menggerutu tak henti-hentinya memikirkan kerepotannya, lalu setelah selesai mengkanji semua bajunya, menggelarnya di atas papan untuk mengeringkan baju-baju itu di bawah sinar natahari, tak menyetrikannya seperti yang biasa dilakukan di Inggris.
Malam harinya pak tua itu pun pulang ke rumahnya. Seperti biasa, dalam perjalanan pulang dinanti-nantinya saat-saat ketika dia hampir sampai ke gerbang rumahnya, di mana dia akan melihat burung piaraannya itu terbang dan mencicit menyambunya, mengepak-ngepakkan bulu-bulunya dengan riang, lalu akhirnya bertengger di bahunya. Tapi malam ini pak tua merasa sangat kecewa, karena bahkan bayangan si burung nuri kesayangannya itu tak kelihatan sama sekali.
Dia pun mempercepat langkahnya, tergesa-gesa melepas sandal jeraminya, dan menaiki beranda. Tetapi masih tak dilihatnya si burung nuri itu. Dia kini merasa yakin kalau istrinya, karena tabiatnya yang pemarah itu pasti telah menembak burung nuri itu di kandangnya. Lalu dipanggil istrinya itu, dan berkata dengan tak sabaran:
"Di mana Suzume San (Nona Nuri) hari ini?'
Istrinya itu mula-mula berpura-pura tidak tahu, lalu dijawabnya:
"Burung nuri kepunyaanmu itu? Sudappasti aku tak tahu. Sekarang aku malah berpikir, karena tak kulihat dia sepanjang siang tadi, tak heran kalau burung yang tahu terima kasih itu pasti sudah terbang dan meninggalkanmu setelah kau manjakan selama ini?"
Tetapi akhirnya, karena pak tua terus menerus mendesaknya, merasa yakin kalau dia pasti tahu apa yang terjadi dengan hewan piaraannya itu, istrinya pun akhirnya mengakui semuanya. Dia marah-marah menceritakan kalau si nuri telah memakan habis adonan tepung kanji yang sudah dibuatnya khusus untuk mengkanji bajunya, dan ketika si burung nuri mengakui apa yang sudah diperbuatnya, karena sangat geram diambilnya gunting dan dipotongnya lidah si burung nuri, dan diusirnya pergi si burung nuri itu dan melarangnya untuk kembali ke rumah itu lagi.
Lalu istri pak tua menunjukkan pada suaminya potongan lidah si burung nuri sambil berkata:
"Ini lidah yang kupotong! Burung usil, kenapa dimakannya sampai habis kanjiku?"
"Kenapa kau begitu kejam? Ya ampun! Kau ini kejam sekali!" hanya itu yang bisa diucapkan pak tua berulang-ulang. Hatinya begitu baik untuk bisa menghukum istrinya, tapi dia juga merasa sedih sekali atas apa yang telah dialami burung nurinya iu.
"Malang sekali Suzume San-ku harus kehilangan lidahnya!" katanya pada dirinya sendiri. "Dia tak akan bisa lagi mencicit, dan pasti rasa sakit akibat lidahnya harus putus seperti itu membuatnya menderita! Apa tak ada yang bisa kulakukan?"
Pak tua masih menangis terus bahkan setelah istrinya yang cerewet itu tertidur.
Ketika diusap air matanya dengan baju katunnya,didapatnya ide cemerlang yang membuatnya sedikit tenang. Dia akan pergi mencari burung nuri itu keesokan harinya. Setelah memutuskan akan melakukannya, dia pun akhirnya bisa tidur juga.
Keesokan harinya pak tua bangun pagi-pagi sekali, bahkan sebelum fajar menyingsing, lalu melahap sarapan ala kadarnya, mulai menjelajahi bukit dan melintasi hutan, berhenti si setiap rumpun bambu sambil memanggil-manggil:
"Di mana, di manakah kini berada burung nuriku yang lidahnya putus? Di mana, di manakah kini berada burung nuriku yang lidahnya putus?'
Dia tak pernah berhenti beristirahat,ataupun untuk makan siang, dan ketika itu hari sudah menjelang sore saat disadarinya dia beradadi dekat sebuah hutan bambu yang lebat. Belukar bambu menjadi tempat mampir kesukaan burung-burung nuri, dan di saat itu di tepi hutan pak tua merasa yakin melihat burung nuri kepunyaannya itu yang begitu disayanginya telah menunggu, lalu menyambunya. Dia hampir-hampir tak percaya apa yang dilihatnya kini karena begitu gembiranya, lalu berlari cepat-cepat untuk menemuinya. Si nuri menundukkan kepalanya yang mungil itu, lalu melakukan beberapa trik yang telah diajarkan masternya itu, menunjukkan betapa gembiranya dia bisa bertemu kembali dengan sahabat lamanya, dan aneh in ajaib, nuri itu bisa bicara. Pak tua mengatakan betapa sedih dirinya atas semua yang terjadi, dan menanyakan tentang lidahnya, dan keheran-heranan bagaimana nuri itu bisa berbicara begitu lancarnya tanpa lidah. Lalu si burung nuri membuka moncongnya dan memperlihatkan pada pak tua kalau sebuah lidah yang baru telah tumbuh menggantikan lidahnya yang lama, dan memohon agar pak tua tidak mengingat-ingat lagi masa lalu, karena dia dalam kondisi yang cukup sehat sekarang. Lalu pak tua itu pun akhirnya menyadari kalau burungnya itu adalah peri, bukan sembarang burung biasa. Tak bisa dilukiskan betapa bertumpuk-tumpuknya rasa girang pak tua itu kini. Dia langsung lupa semua kesulitannya, dia bahkan lupa kalau sesungguhnya betapa lelah dirinya, karena sekarang telah ditemukan kembali burung nurinya yang hilang, yang bukannya sedang menderita karena kehilangan lidah seperti yang dikhawatirkan pak tua, tetapi ternyata burung nurinya itu dalam keadaan baik-baik saja dan sekarang sudah punya lidah yang baru, dan sama sekali tak menunjukkan pernah mengalami perlakuan yang buruk dari istrinya. Dan yang paling utama ternyata si burung adalah peri.
Si burung nuri lalu meminta pak tua untuk mengikutinya, lalu terbang di depannya dan diantarnya masternya itu sampai ke sebuah rumah yang indah di tengah-tengah hutan bambu. Pak tua itu tak bisa menyembunyikan rasa takjubnya saat dimasukinya rumah itu dan melihat tempat yang sangat indah. Rumah itu dibangun dari kayu yang paling putih, dengan hamparan permadani lembut berwarna cokelat muda dan yang paling cantik yang belum pernah dilihat sebelumnya, dan bantak yang dibawakan oleh si burung nuri itu untuk alas duduk pak tua terbuat dari sutra dan wol yang paling halus. Vas cantik dan kotak-kotak berkilat menjadi penghias tokonoma (cekungan di dinding tempat memajang barang-barang hiasan) di setiap ruangan.
Si burung nuri mengajak pak tua memasuki ruang tamu kehormatan, kemudian memempatkan diri agak jauh, dihaturkannya ucapan terima kasih dengan membungkuk berkali-kali atas semua kebaikan yang telah diberikan pada dirinya setelah bertahun-tahun lamanya.
Kemudian Nona Nuri, kita akan memanggilnya dengan nama itu mulai sekarag, memperkenalkan semua keluarganya pada pak tua. Setelah perkenalan itu, anak-anak perempuannya, mengenakan gaun wol yang paling anggun, membawa masuk sajian makanan yang lezat-lezat di atas nampan-nampan antik yang cantik, sampai-sampai pak tua berpikir kalau dia pasti tengah bermimpi. Di tengah-tengah jamuan makan malam, beberapa anak perempuan nona nuri menampilkan tarian yang indah sekali, yang dinamakan tarian "suzume-odori" atau tarian burung nuri, untuk menghibur tamu mereka.
Tak pernah pak tua bisa bersenag-senang seperti itu. Waktu berlalu dengan begitu cepatnyadi tempat yang elok itu, dikelilingi semua nuri-nuri itu menjamunya dan menghibur serta juga menari di hadapannya.
Tetapi malampun menjelang dan hari yang mulai gelap itu mengingatkan pak tua kalau perjalanan pulang yang harus ditempuhnya sangatlah jauh, jadi dia berpikir harus pamit sekarang, lalu segera pulang. Diucapkannya terima kasih pada sang tuan ruamah yang baik itu atas hiburan yang disuguhkan, dan memohon demi dirinya, agar si burung nuri mau melupakan semua penderitaan yang dialaminya atas perlakuan istrinya yang kejam itu. Dikatakan pada Nona Nuri bahwa dia merasa sangat lega dan senang Nona Nuri beradadi rumah yang begitu cantik, dan mengetahui kalau Nona Nuri tak menuntut apapun. Pak tua selama ini begitu cemas ingin mengetahui bagaimana nasib burung nuri miliknya itu, dan mencari tahu apa yang benar-benar telah terjadi pada dirinya dan yang selama ini telah menuntunnya untuk mencarinya. Sekarang setelah tahu kalau semuanya baik-baik saja, pak tua bisa pulang ke rumahnya dengan hati gembira. Jika suatu saat kelak sang peri membutuhkan bantuan apapun dari pak tua, Nona Nuri hanya perlu memanggilnya saja, maka pak tua akan segera datang.
Nona Nuri memohon agar pak tua tetap tinggal dan beristirahat untuk beberapa hari serta menikmati perubahan suasana di rumahnya, tetapi pak tua mengatakan kalau dia harus pulang ke istrinya - yang mungkin akan marah-marah karena dia tak pulang tepat pada waktunya - dan juga kembali ke pekerjaannya, sehingga walaupun pak tua sangat ingin untuk tetap tinggal di situ, dia tak bisa menerima undangan tulus sang peri. Tetapi sekarang setelah dia tahu di mana Nona Nuri tinggal, dan dia akan datang menemuinya kapanpun dia ada waktu.
Ketika Nona Nuri menyadari kalau dia tak bisa membujuk pak tua agar mau tinggal lebih lama, dipanggil beberapa pelayannya, dan saat itu juga mereka membawa masuk dua kotak, salah satunya berukuran besar dan yang satunya lagi kecil. Kedua kotak itu diletakkan di hadapan pak tua, lalu Nona Nuri memintanya untuk memilih yang manapun yang disukainya sebagai hadiah, yang ingin diberikan kepada pak tua.
Pak tua tak bisa menolak tawaran yang tulus itu, lalu memilih kotak yang kecil, sambil berkata:
"Hamba sudah terlalu tua dan lemah untuk membawa kotak yang yang besar dan berat itu. Seperti yang tuanku peri katakan kalau hamba boleh memilih manapun yang hamba suka, maka akan hamba pilih kotak yang kecil, karena dengan demikian akan lebih mudah bagi hamba untuk membawanya.
Kemudian semua burung nuri itu membantu mengangkat kotak itu ke atas punggung pak tua, dan mengantarnya sampai ke gerbang untuk berpisah, sambil membungkuk hormat berkali-kali mengucapkan selamat tinggal dan mengundang pak tua lagi kapanpun dia ada waktu. Demikianlah, pak tua dan burung nuri peliharannya itu berpisah dalam keadaan hati yang bahagia, dan si burung nuri tak menampakkan demdam sama sekali atas perlakuan buruk yang harus dideritanya dari istri pak tua itu. Sebaliknya, dia merasa sedih memikirkan pak tua yang harus menghadapi kebawelan istrinya itu seumur hidupnya.
Ketika pak tua sampai di rumahnya, didapatinya istrinya itu bahkan jadi lebih cerewet dari sebelum-sebelumnya, karena saat itu sudah larut malam dan karena dia sudah menanti suaminya sejak tadi-tadi.
"Kau ke mana saja dari tadi?" tanyanya dengan suara keras, "kenapa kau pulang begitu larut?"
Pak tua berusaha menenagkan hati istrinya dengan menunjukkan kotak hadiah yang dibawanya pulang, lau diceritakan semua peristiwayang dialaminya, dan bagaimana dia dijamu dengan megahnya di rumah si burung nuri miliknya itu.
"Sekarang kita sama-sama lihat apa isi kotak in," kata pak tua sebelum istrinya menggerutu lebih panjang lagi, "kau harus membantuku membukanya," lalu keduanya duduk di hadapan kotak itu dan membukanya.
Dengan takjub mereka melihat kotak itu sampai ke pinggir-pinggirnya penuh berisi koin-koin perak dan emas, dan bayak lagi benda-benda berharga lainnya. Alas duduk pondok mereka menjadi berkilauan saat mereka keluarkan benda-benda itu satu per satu, lalu meletakkannya, menggenggamnya berganti-gantian. Pak tua sangat girang melihat semua harta yang semuanya kini adalah miliknya. Pemberian si burung nuri itu bahkan di luar angan-angannya yang paling liar sekalipun, yang kini membuatnya tak lagi harus bekerja keras dan hidup dengan tenang dan nyaman selama sisa hidupnya.
Dia berkata berulang-ulang,"Terima kasih burung nuri kecilku! Terima kasih burung nuri kecilku yang baik hati!"
Tetapi istrinya, begitu hilang takjubnya di saat pertama tadi membelalak memandangi koin-koin perak dan emas itu, tak dapat menekan rasa rakusnya yang sudah menjadi sifat jelenya itu. Dia kini malah mengomeli suaminya karena tak membawa pulang kotak yang besar berisi hadiah-hadiah, setelah karena jujurnya pak tua menceritakan pada istrinya kalau dia telah menolak untuk mengambil kotak hadiah yang berukuran besar yang ditawarkan si burung nuri padanya, tetapi lebih memilih kotak yang kecil karena ringan dan mudah dibawa pulang.
"Kau ini orang tua yang bodoh!" katanya, "mengapa tak kau mabil kotak yang besar saja?" Coba bayangkan apa yang lenyap dari genggaman kita. Kita mestinya sekarang punya emas dan perak yang pasti lebih banyak lagi dari yang ini. Kau betul-betul bodoh!" sambil berteriak , lalu pergi tidur dalam keadaan geram.
Pak tua berharap dia tadi tak mengatakan apa-apa soal kotak yang lebih besar itu, tetapi semuanya sudah terlambat. Istrinya yang rakus, tak puas dengan keberuntungsn yang tak diduga-duga itu, yang sebetulnya dirinya itu tak berhak mendapatkannya walau sedikitpun, akhirnya memutuskan, jika mungkin, untuk mendapatkan lebih dari itu semua.
Pagi-pagi sekali di keesokan harinya, istri pak tua bangun dan memaksa suaminya memberitahu arah jalan menuju rumah si burung nuri. Ketika disadari apa yang diinginkan istrinya itu, pak tua mencoba melarangnya untuk pergi, tetapi percuma saja, istrinya tak mau mendengarkan sepatah kata pun yang dikatakan suaminya. Aneh sebetulnya kalau istrinya itu tak merasa malu sedikitpun ingin mendatangi si burung nuri setelah perlakuan kejam yang dilakukannya dengan memotong lidah si burung karena murkanya. Tetapi sifat rakusnya yang ingin mendapatkan kotak yang lebih besar membuatnya melupakan hal-hal lain. Bahkan tak sedikitpun terpikir dalam benaknya kalau si burung nuri itu bisa saja marah padanya. Sesungguhnya burung-burung itu memang marah, dan mungkin bahkan menghukumnya atas apa yang telah dilakukannya itu.
Terhitung saat Nona Nuri kembali ke rumahnya dalam pelarian yang memilukan hati itu ketika mereka menemukannya, dalam keadaan terisak-isak dan mulut yang berlumuran darah, seluruh keluarga dan kerabatnya tak punya urusan penting lainnya selain hanya membicarakan kekejaman istri pak tua. "Tega sekali orang itu," mereka bertanya-tanya, "menjatuhkan hukuman seberat itu hanya karena kesalahan yang sepele seperti tak sengaja memakan tepung beras?". Mereka semua menyayangi pak tua yang begitu baik san sabar menghadapi semua kesulitannya, tetapi istrinya itulah yang mereka benci, dan mereka telah memutuskan, kalau mereka berharap mendapak kesempatan untuk menghukumnya sebagaimana yang patut didapatkan perempuan itu. Mereka ternyata tak perlu menunggu lama.
Setelah berjalan selama beberapa jam, istri pak tua akhirnya menemukan hutan bambu yang tadi sudah diminta pada suaminya untuk menunjukka letaknya, dan sekarang berdiri di depannya sambil berteriak:
"Di manakah rumah si burung nuri yang lidahnya putus? Di manakah rumah si burung nuri yang lidahnya putus?"
Akhirnya dilihatnya atap rumah muncul dari balik rimbunya dedaunan bambu. Dia bergegas menghampiri pintunya dan mengetuk dengan keras-keras.
Ketika pelayan-pelayan Nona Nuri memberitahunya kalau majikan lamanya berada di depan pintu memaksa ingin bertemu dengannya, dia agak terkejut dengan kunjungan yang tak terduga-duga itu, setelah semua yang telah terjadi, dan dia sama sekali tak berprasangka apa-apa terhadap aksud kedatangan perempuan tua itu yang nekad mendatangi rumahnya. Namun Nona Nuri adalah burung yang santun, lalu dia pun keluar untuk menyapa istri pak tua, mengingat kalau perempuan tua itu dulu pernah jadi tuannya.
Istri pak tua berniat untuk tidak membuang-buang waktu bertutur sapa, lalu langsung dikatakan maksud kedatangannya, dan tanpa malu sama sekali dia berkata:
"Kau tak perlu repot-repot menjamuku seperti yang kau lakukan untuk suamiku. Aku datang untuk mengambil kotak yang dengan begitu bodohnya telah dibiarkannya tertinggal. Aku akan segera pergi jika kau berikan padaku kotak yang besar itu. Hanya itu yang kumau!"
Nona Nuri langsung menyetujuinya, dan meminta pelayan-pelayannya untuk membawa keluar kotak yang besar. Istri pak tua dengan bersemangat mengambilnya, lalu menggendong di punggungnya, tanpa sama sekali mengucapkan terima kasih kepada Nona Nuri, bergegas pulang ke rumah.
Kotak itu begitu beratnya sampai-sampai istri pak tua tak sanggup berjalan cepat, apa lagi berlari, walau itu yang ingin dilakukannya saat itu, tetapi malah dia harus sering-sering duduk dan beristirahat.
Ketika istri pak tua berjalan terhuyung-huyung memikul beban yang berat itu, nafsunya membuka kotak itu menjadi semakin tak bisa ditahan-tahannya lagi. Dia tak bisa menunggu lebih lama lagi, karena dia membayangkan kotak yang besar itu kali ini akan dipenuhi emas da perak dan permata-permata mahal seperti isi kotak kecil yang diterima suaminya.
Akhirnya karena dikuasai nafsu serakah dan kekikiran, istri pak tua lalu meletakkan kotak bawaannya dan membukanya hati-hati, membayangkan matanya akan terbelalak melihat limpahan harta di dalamnya. Namun apa yang dilihatnya, begitu menakutkan sampai-sampai membuatnya nyaris gila. Begitu tadi diangkatnya tutup kotak itu, segerombolan setan-setan yang wajahnya seram-seram dan menakutkan melompat ke luar dari dalam kotak dan mengelilinginya seolah-olah hendak membunuhnya. Bahkan dalam mimpi buruknya sekalipun belum pernah ia melihat makhluk-makhluk yang mengerikan seperti itu sebagaimana yang ada di dalam kotak sekarang ini. Sesosok setan dengan mata merahnya yang besar di tengah-tengah dahi mendekatinya dan memelototinya, ada juga monster-monster dengan mulut menganga tampak seolah -olah mereka ini akan melumatnya, lalu ada juga ular besar bergelung dan medesis di dekatnya, juga kodok raksasa yang melompat-lompat dan berkuak-kua mendeatinya.
Istri pak tua belum pernah merasa begitu ketakutannya, seperti sekarang ini selama hidupnya, lalu berlari tunggang langgang dari tempat itu, secepat kaki-kaki yang gemetaran itu membawanya, dan akhirnya lega karena bisa melarikan diri dalam keadaan hidup. Saat sesampainya di rumah, istri pak tua menggeletakkan diri di lantai dan menceritakan pada suaminya semua peristiwa yang dialaminya, bagaimana dia nyaris dibunuh oleh setan-setan dalam kotak itu.
Lalu istri pak tua mulai menyalahkan si burung nuri, tetapi pak tua langsung memintanya diam, sambil berkata:
"Jangan salahkan burung nuri itu. Ini semua karena kekejamanmu sendiri yang pada akhirnya mendapat ganjarannya. Aku hanya bisa berharap peristiwa ini bisa menjadi pelajaran berharga buatmu di masa depan."
Istri pak tua tak berkata apa-apa lagi, dan sejak hari itu dia menyesali kebawelannya, perilakunya yang bururk, dan perlahan-lahan menjadi orang yang baik, sehingga suaminya hampir-hampir tak mengenali sososk istrinya itu. Dan mereka berdua pun akhirnya menghabiskan hidupnya bersama dengan bahagia, selalu sejahtera dan tak pernah berkekurangan sedikitpun, menggunakan dengan bijaksana harta karun yang diterima pak tua dari burung piaraanya, si burung nuri yag lidahnya putus.
Diambil dari buku Dongeng Klasik Jepang, karya Yei Theodora Ozaki