Showing posts with label festival di Jepang. Show all posts
Showing posts with label festival di Jepang. Show all posts

Tuesday, November 7, 2017

Mikoshi: Kuil Mini yang Tak Pernah Absen di Setiap Matsuri




Hampir setiap matsuri (festival) yang digelar di seluruh penjuru Negeri Sakura selalu menghadirkan mikoshi. Kuil mini atau portable tersebut biasanya dihias indah dan digotong ramai-ramai, menjadikannya momen sangat menarik di berbagai acara yang ditandai kemeriahan massal.

Mikoshi kerap disebut juga sebagai omikoshi, ada juga yang menyebutnya shin’yo. Dalam buku NHK no Tsubo Mikoshi dijelaskan bahwa kata itu menggambarkan replica dari kuil Shinto. Ciri khasnya adalah tori (gerbang masuk yang terbuat dari kayu).

Atap mikoshi ditandai dengan ukiran burung houou, sejenis rajawali yang membuat mikoshi terihat gagah. Diperlukan keahlian khusus untuk membuat mikoshi karena sifatnya yang sarat detil dan keharusannya untuk terlihat elegan. Itu sebabnya mikoshi kerap dianggap sebagai bunga (bagian paling menawan dari setiap matsuri.

Kuil mini ini biasanya terbuat dari kayu yang dipernis hitam. Selain itu ada bilah kayu yang dipasang sejajar dan berfungsi sebagai pemikul. Ada juga bagian badan, atap dan alas yang juga menjadi semacam penyangga bagi badan. Badan sendiri biasanya berbentuk persegi, heksagonal atau oktagonal.

Berdasarkan sejarahnya, para pengikut Shinto percaya bahwa mikoshi berfungsi sebagai kendaraan untuk mengangkut para dewa di Jepang saat menuju kuil utama dan kuil lain selama festival atau saat pindah ke kuil baru. Meski tak pernah dijelaskan dari mana asal usulnya, namun pada zaman Heian (794 – sekitar 1185), mikoshi mulai dipakai di seluruh Jepang sebagai sarana transportasi untuk “mengantar” para dewa mengunjungi matsuri. Karena memanggul mikoshi dipercaya akan mendatangkan kebahagiaan, rezeki, dan kesejahteraan. Mikoshi juga merupakan hal vital dalam setiap festival di jepang, yang berarti tak boleh absen.


antusiasme warga Jepang saat memanggul mikoshi

antusiasme warga Jepang saat memanggul mikoshi

Masyarakat Jepang tentu saja tak pernah tak antusias dalam urusan panggul memangguk ini. Salah satu laman rocketnews24.com menyebut bahwa setiap prefektur mempunyai warga yang pernah menjadi pemanggul mikoshi. Bahkan ada lelaki yang mempunyai tanda kapalan di bahu saking seringnya memanggul kuil mini nan apik ini. Tak seorangpun megaku kapok dan  menyatakan akan terus siap selagi mampu untuk memanggul mikoshi lagi dan lagi. Hal ini merupakan refleksi dari dedikasi mereka pada kepercayaan Shinto dan komunitasnya, para dewa serta kuilnya.

Beragam
Dalam setiap matsuri  ada beragam ukuran mikoshi. Ada yang kecil dan ada yang besar. Yang besar bobotnya bias lebih dari satu ton sehingga perlu puluhan orang untuk memanggulnya. Belakangan ada juga yang diangkut dengan kereta dorong sehingga tak memerlukan terlalu banyak orang.
mikoshi yang diangkut kereta dorong

mikoshi yang diangkut kereta dorong


Kini pemanggul bisa lelaki, bisa pula perempuan biasa. Sebelumya, mereka –disebut katsugite – hanya para penganut kepercayaan Shinto. Saat “bertugas” mereka kerap mengenakan pakaian tradisional atau seragam unik. Untuk menyemangati biasanya para pemanggul  meneriakkan yel-yel dan irama tertentu. Ada kalanya mkoshi dengan bobot ringan juga dihadirkan dalam matsuri agar bisa diangkat anak-anak. Dengan cara ini, bahkan sejak usia dini, anak-anak akan terbiasa dengan prosesi panggul-memanggul ini.

para wanita pemanggul mikoshi mengenakan pakaian unik

para wanita pemanggul mikoshi mengenakan pakaian unik


anak-anak turut serta memanggul mikoshi

Di Jepang ada beberapa festival yang terkenal karena keindahan mikoshinya. Di aintaranya, festival Takayama di mana kuil mini ini terlihat sangat mempesona karena dibuat oleh tangan-tangan terampil di Hida. Saat malam tiba, replika kuil tersebut akan dihiasi lentera menyala yang perlahan-lahan menerangi kota. Keindahannya sungguh fantastis. Dalam kesempatan ini, semua pemanggul mengenakan kimono tradisional. Festival yang disebut-sebut sebagai tiga festival terindah di Jepang ini digelar dua kali yaitu saat musim semi dan musim gugur.
mikoshi di Festival Takayama yang indah dan megah

Mikoshi super atraktif juga ada di Festival Hana, prefektur Gifu, karena aneka hiasan sakura dari kertas washi. Biasanya, tarian Hana Mikoshi yang energik dan bertenaga juga mengiringi.

Selain itu ada Sanja Matsuri yang kerap ditunggu-tunggu karena mikoshinya yang amat berat, lebih dari satu ton dan akan mengelilingi Asakusa selama tiga hari. Setiap tahun sampai 1,5 juta orang hadir dalam keriaan ini.



Sumber:
Tabloid Halo Jepang! Edisi Oktober 2017



   

Friday, March 3, 2017

Setsubun







Upacara Setsubun merupakan kegiatan melempar kacang yang dilakukan saat mengawali pergantian musim dingin ke musim semi. Setsubun biasanya jatuh pada tanggal 3 Februari. Upacara setsubun dilakukan dengan melempar segenggam kacang kedelai sangrai sambil mengucapkan "Oni wa soto, fuku wa uchi" yang berarti "pergilah iblis, masuklah keberuntungan". Ibarat mantera, kalimat tersebut seolah memberi kekuatan pada kacang untuk menghalau setan di tahun yang baru saja berganti.

Dalam laporan NHK disebutkan, pada hari itu seluruh masyarakat di seluruh Prefektur Jepang menyebar kacang kedelai yang sudah disangrai matang untuk memperoleh keberntungan sepanjang tahun, dan mengusir setan-setan yang mewakili kemalangan. Sebagian orang melempar kacang tersebut di halaman rumah, sebagian lagi melalukannya di kuil. Kegiatan ini disebut mame-maki.

dukun di kuil memakai topeng seperti setan
Ritual setsubun di kuil menampilkan para dukun yang mengenakan topeng menyeramkan layaknya oni atau setan. Kemudian, masyarakat yang datang melemparinya dengan kacang kedelai sambil mengucap "mantera" seperti yang dimaksud.


Sejarah Setsubun
Berdasrkan sejarahnya, pada zaman kuno, setsubun adalah perayaan tahunan di istana kaisar. Menurut Engishiki (kumpulan undang-undang dan aturan di masa lalu), saat itu menjadi tradisi untuk memajang beragam boneka dari tanah liat berbentuk anak dan sapi di pintu gerbang dalam lingkungan istana.

kacang kedelai dan topeng oni, dua benda khas setsubun
Memasuki zaman modern, kebiasaan setsubun di zaman kuno lenyap dan digantikan tradisi melempar kacang dan menggantung kepala ikan sardin yang ditusuk ranting pohon hiragi di pintu masuk rumah. zdi beberapa prefektur Jepang, masyarakat percaya kepala sardin dapat mengusir oni yang lahir pada hari setsubun.

Namun yang umum dilakukan adalah menyebar kacang kedelai panggang di depan pintu rumh. Biasanya sang ayah berperan sebagai oni dengan memakai topeng seram, berdiri di depan pintu rumah. Sementara ibu dan anak-anak melemparinya dengan kacang itu.

Warisan budaya ini terus terjaga turun temurun, meski tak semua orang melakukannya karena alasan tertentu, misalnya sudah ringgal lama di luar negara Jepang.



Ehoumaki
selain mengusir setan dengan melempar kacang, salah satu adat setsubun yang masih kerap dilakukan adalah memakan ehoumaki (yang artinya gulungan keberuntungan), yaitu sushi dalam bentuk gulungan panjang yang dibalut rumput laut. Saat memakan ehoumaki harus menghadap ke arah mata angin yang sudah ditentukan dan selalu berbeda tiap tahunnya. Sebelum satu gulung ehoumaki habis dimakan, orang yang memakannya tidak boleh berbicara. Dengan memakan ehoumaki diharapkan nasib baik akan datang. Tradisi ini berasal dari Osaka yang bermula di zaman Edo yang hingga kini tetap terjaga bahkan meluas ke seluruh Negeri Matahari Terbit.

ehoumaki
Biasanya, sebulan sebelum setsubun, supermarket sudah menyediakan ehoumaki karena pesanan dipastikan meningkat pesat mengingat memakan ehoumaki lebih mudah dibanding melempar kacang yang membutuhkan peran oni. meski demikian, tak berarti kacang kedelai keberuntungan atau fukumame tidak banyak tersedia. Bahkan ada yang memberikan bonus topeng oni saat membeli fukumame.

Setsubun juga menjadi ajang kegembiraan bagi masyarakat karena para artis dan aktor papan atas, tokoh terkemuka, atlet berprestasi kerap diundang ke beberapa kuil besar, sepertidi kuil Kushida , Fukuoka untuk melakukan mame-maki bersama masyarakat. Berbaur dengan bintang idola tentunya menyenagkan bagi masyarakat. Sementara itu, beberapa kuil Buddha dan Shinto bekerja sama dengan taman kanak-kanak dan tempat penitipan anak mengadakan upacara melempar kacang oleh chigo (anak-anak kecil yang dirias) dan miko (pelayan wanita).

perayaan setsubun di kuil
 Meski setsubun bukan hari libur nasional, namun masyarakat Jepang dengan suka cita selalu melakukan ritual-ritual tersebut di sela-sela aktivias sehari-hari. Bahkan pada hari itu, beberapa hotel dan restoran juga memiliki agenda khusus mengajak masyarakat merayakan tradisi unik itu bersama-sama. Keceriaan dalam acara itu menjadikan semnagat baru bagi mereka, khususnya dalam menjalani pergantian musim.








Sumbe:
Tabloid Halo Jepang! edisi Februari 2017