Thursday, November 23, 2017

Dongeng Jepang: Tuanku Pembawa Karung Beras


Dahulu kala, tinggalah di Jepang seorang ksatria yang gagah berani. Semua orang memanggilnya TawaraToda, atau “Tuanku Pembawa Karung Beras”. Nama aslinya adalah Fujiwara Hidesato, dan ada cerita yang menarik di baliknya, mengapa namanya diubah menjadi demikian.

Di suatu hari ketika Hidesato tengah berjalan-jalan mencari petualangan, karena pada dasarnya dia memiliki naluri seorang ksatria sehingga dia tak tahan kalau hanya berdiam diri saja. Maka kemudian disarungkan dua pedangnya, membawa serta busurnya yang besar, yang ukurannya lebih tnggi dari badannya sendiri, lalu setelah menyampirkan selempang anak panah di punggungnya, Hidesato pun berangkat. Sang ksatria belum berjalan terlalu jauh ketika dia sampai di jembatan Seta-no-Karashi yang membentang dari salah satu ujung danau Biwa yang elok itu. Tak lama begitu dipijakkan kakinya di atas jembatan, dilihatnya tepat merintangi jalan di hadapannya itu, tengah berbaring seekor ular naga raksasa. Badan naga itu begitu besarnya sampai-sampai terlihat seperti onggokan batang pohon pinus besar yang menutupi seluruh area jembatan. Salah satu cakarnya yang sangat besar itu bertengger di atas satu sisi tembok jembatan, sementara ekornya tergeletak tepat berdampingan satu dengan lainnya. Monster itu kelihatannya sedang tertidur, dan saat bernafas, api dan asap berhembus dari lubang hidungnya.

Awalnya, Hidesato merasa gentar juga saat melihat sosok reptil mengerikan yang terbaring menghalangi jalannya kini. Dia harus memutuskan akan berbalik kembali pulang atau berjalan menaiki badan naga itu. Tetapi Hidesato adalah orang yang pemberani, lalu segera disingkirkan semua ketakutannya, dan dengan gagah berani melangkah maju. Kres, kres, kres! Begitu suara yang terdengar saat diinjakkan kakinya di atas badan si naga yang menggelung. Tanpa menengok sedikitpun ke belakang, Hidesato berjalan terus.

Hidesato belum jauh melangkah ketika didengarnya ada seseorang yang memanggilnya dari belakang. Ketika dia berbalik, dia begitu terkejut ketika menyadari monster naga itu sama sekali sudah lenyap, dan di tempat naga itu kini dilihatnya seorang pria dengan wajah yang aneh, yang kini membungkukkan badan dengan sangat hormatnya ke tanah. Rambutnya yang berwarna merah tergerai sampai ke bahunya, dan dia atas kepalanya bertengger sebuah mahkota berbentuk kepala naga, dan bajunya yang berwarna hijau laut itu bercorakkan motif kerang-kerangan. Hidesato langsung menyadari kalau orang itu pasti bukanlah manusia biasa , dan terheran-heran atas kejadian aneh itu. Kemana perginya sang monster naga dalam waktu yang secepat itu? Ataukah naga tadi sudah berubah menjadi sosok orang, dan apa arti semuanya ini? Sementara pikirannya dipenuhi pertanyaan, dihampirinya orang itu di atas jembatan dan disapanya:
“Apa itu tadi tuan yang baru saja memanggilku?”
“Betul, akulah yang memanggilmu,” jawab orang itu, “aku memiliki satu permintaan padamu. Bisakah kau kabulkan untukku?”
“Kalau aku bisa mengabulkannya, akan kulakukan,” Jawab Hidesato, “tapi pertama-tama katakan siapakah tuan ini?”
“Aku adalah Raja Naga dari Danau ini, dan rumahku ada di danau ini, tepat di bawah jembatan ini.”
“Lalu apa yang tuan kehendaki dariku?” Tanya Hidesato.
“Aku ingin kau membunuh musuh bebuyutanku si kelabang, yang hidup di balik gunung di sana itu,” lalu si Raja Naga menunjuk ke arah sebuah puncak tinggi di seberang pantai danau.
“Aku mendiami danau ini selama bertahun-tahun dan memiliki sebuah keluarga besar dengan anak-anak dan cucu-cucuku. Selama beberapa tahun terakhir ini kami hidup dalam ketakutan, setelah seekor monster kelabang berhasil menemukan tempat tinggal kami, dan setiap malam monster itu akan datang dan selalu menyeret pergi satu anggota keluargaku. Aku tak berdaya, tak bisa menyelamatkan mereka. Jika ini berlangsung terus-menerus, aku bukan hanya kehilangan semua anak-anakku, tapi aku sendiri juga akan menjadi korban monster itu. Oleh karenanya, aku merasa sangat sedih dan putus asa, lalu kuputuskan untuk meminta bantuan manusia. Selama beberapa hari, dengan maksud itu, kutunggu di atas jembatan sambil mengubah wujudku menjadi seekor ular naga yang menakutkan yang kau lihat tadi, berharap ada manusia yang pemberani dan kuat yang datang menghampiri. Tetapi semua orang yang hendak melintasi jalan ini, begitu dilihatnya sosokku, akan ketakutan dan lari tunggang langgang secepat mungkin. Kau adalah orang pertama yang sanggup menghadapiku tanpa merasa takut , jadi aku bisa langsung tahu kalau kau ini orang yang gagah berani. Kumohon kasihanilah hamba. Bersediakah kau menolongku dan membunuh musuhku si kelabang?”


Ketika mendengar kisah itu, Hidesato merasa kasihan pada si Raja Naga, dan langsung berjanji melakukan sebisanya untuk membantunya. Sang ksatria menanyakan di mana tinggalnya si kelabang itu, sehingga bisa diserangnya makhluk itu segera. Raja Naga menjawab kalau rumah kelabang itu ada di gunung Mikami, tetapi si kelabang akan datang setiap malam pada jam-jam tertentu ke istana di danau, jadi akan lebih baik kalau mereka menunggu saja sampai saat itu tiba. Setelah itu Hidesato diantar sampai ke istana milik Raja Naga, yang terletak di bawah jembatan. Aneh bin ajaib, ketika diikutinya sang tuan rumah berjalan turun ke dalam danau, air membelah membiarkan mereka lewat, dan bajunya sama sekali tidak terasa basah waktu dilewatinya air tadi. Belum pernah sebelumnya Hidesato menyaksikan pemandangan seindah istana dari marmer itu yang berada di dasar danau. Dia sering mendengar cerita tentang istana Raja Laut di dasar laut, di mana semua dayang-dayang dan pengawalnya adalah ikan-ikan laut, tetapi yang ini adalah bangunan yang luar biasa megahnya di jantung Dnau Biwa. Ika-ikan mas yang elok, gurame merah, ikan-ikan trout keperakan, semuanya tengah menanti kedatangan sang Raja Naga beserta tamunya.

Hidesato terkagum-kagum menikmati pesta yang digelar menyambut kedatangannya. Makanan yang disajikan berupa kristal daun-daun dan bunga teratai, lalu sumpitnya terbuat dari gading dari jenis sangat langka. Begitu mereka duduk, pintu geser terbuka dan keluarlah sepuluh ikan-ikan mas penari yang cantik-cantik, lalu di belakang mereka menyusul sepuluh musisi yang terdiri atas ikan-ikan gurame merah yang memainkan alat musik koto dan shamisen. Pesta berlangsung hampir menjelang tengah malam, dan alunan musik seta tari-tarian yang indah itu menyingkirkan semua kekhawatiran pada si kelabang. Raja Naga baru saja hendak menawarkan lagi secangkir sake pada sang ksatria, ketika istana itu tiba-tiba bergetar oleh guncangan hebat…gedubrak…gedubrak! Seperti suara sepasukan tentara yang berbaris tak jauh dari mereka.

Hidesato dan sang tuan rumah langsung berdiri dan bergegas menuju balkon istana, dan dilihatnya dari arah seberang gunung dua bola besar yang memancarkan api datang semakin mendekat. Raja Naga berdiri di samping sang ksatria gemetar ketakutan.
“Si kelabang! Si kelabang! Dua bola api itu adalah matanya. Dia datang untuk mengambil mangsanya.”

Hidesato memandang ke arah yang ditunjuk tuan rumahnya itu, dan di bawah pendaran samar-samar cahaya bintang-bintang malam, di belakang kedua bola api itu dilihatnya badan si kelabang raksasa yang panjang bergelung mengitari gunung, lalu kelap kerlip pada kaki seribunya bersinar bagaikan lentera yang banyak sekali di kejauhan yang bergerak perlahan-lahan menuju pantai.


Hidesato tidak memperlihatkan sama sekali tanda-tanda rasa takut. Dicobanya untuk menenangkan sang Raja Naga.
“Jangan takut. Pasti akan kubunuh kelabang itu. Tolong ambilkan saja busur dan anak panahku.”

Raja Naga menurutinya, dan sang kesatria lalu menyadari kalau dia hanya punya tiga anak panah lagi saja dalam kantong panahnya. Diangkat busurnya, lalu dipasangnya sebuah anak panah , membidik dengan hati-hati dan diluncurkannya anak panah itu.

Anak panah itu mengenai si kelabang tepat di tengah-tengah kepalanya, tetapi bukannya malah menembusnya, anak panah itu sebaliknya malah menggelinding lalu terjatuh ke tanah.

Tak gentar sama sekali, Hidesato lalu mengambil anak panah lainnya, memasangnya pada busur lalu meluncurkannya. Anak panah itu juga tepat mengenai sasaran, mengenai si kelabang tepat di tengah-tengah kepalanya, tetapi sekali lagi hanya menggelinding terjatuh ke tanah. Kelabang tu ternyata tdak mempan pada senjata! Ketika Raja Naga melihat hal ini, ketika bahkan anak panah dari ksatrianya yang paling pemberani itu tak mempan membunuh si kelabang, dia jadi putus asa dan gemetar ketakutan.

Sang ksatria menyadari kalau dia kini hanya punya satu anak panah lagi saja di kantong panahnya, jadi kalau yang ini pun gagal, maka berart dia tak akan bisa membunuh si kelabang. Dilemparkan pandangannya di atas hamparan air danau itu. Reptil raksasa itu kini sudah menggelungkan badannya yang mengerikan itu tujuh keliling mengitari gunung di depannya, dan tak akan lama lagi akan sampai ke danau. Semakin mendekat nyala bola-bola mata itu beserta kerlap-kerlip dari ke seribu kakinya yang memantul bayangan sinarnya pada permukaan air danau yang tenang.

Untungnya sang ksatria ingat kalau dia pernah mendengar cerita bahwa ludah menusia bisa mematikan bagi kelabang. Tapi kelabang yang satu ini bukan sembarang kelabang. Ukurannya saja sangat besar, membuat orang membayangkannya saja sudah merinding ngeri. Hidesato bertekad untuk mencoba lagi terakhir kalinya. Lalu diambilnya anak panah terakhir, membasahi dulu ujung anak panah itu  ke dalam mulutnya, dipasangkan anak panah itu pada busurnya, lalu dibidiknya lagi dengan cermat dan diluncurkannya anak panahnya itu.

Kali ini anak panah itu sekali lagi mengenai si kelabang tepat di tengah-tengah kepalanya, tetapi bukannya menggelinding jatuh seperti sebelum-sebelumnya, anak panah itu menancap sampai ke otak si kelabang. Setelah menggelepar-geleparr kejang, badan makhluk ular itu diam tak bergerak sama sekali, dan pancaran cahaya yang menakutkan dari matanya yang besar dan seribu kaki-kakinya itu memudar bagaikan sinar matahari yang redup di hari hujan, kemudian mati dalam kegelapan. Kegelapan total kini menyelimuti seluruh kayangan, bagai bergulung-gulung, kilat menyambar-nyambar dan suara angina menggerung murka, dan dunia seolah-olah hendak kiamat. Sang Raja Naga dan anak-anak serta pengawal-pengawalnya semua meringkuk di segala pelosok istana itu, ketakutan setengah mati, karena bangunan istana berguncang-guncang sampai ke pondasi istana. Akhirnya malam yang menakutkan itu pun berlalu. Lalu hari menyingsing dengan cerah dan indahnya. Si kelabang telah lenyap dari gunung itu.

Hidesato lalu memanggil Raja Naga untuk keluar bersamanya ke balkon, karena si kelabang telah mati dan tak ada lagi yang harus ditakutinya lagi. Lalu semua penghuni istana ke luar dengan suka cita, dan Hidesato menunjuk kea rah danau. Di situ tergeletak mayat si kelabang yang mengapung di atas air yang berubah warnanya menjadi merah karena darah si kelabang.

Rasa terima kasih sang Raja Naga tak terkira besarnya. Semua anggota keluarganya keluar dan membungkuk hormat di hadapan sang ksatria paling gagah berani di seantero Jepang.

Digelar pesta lagi, lebih megah dari sebelumnya. Semua jenis menu ikan, yang disuguhkan bermacam-macam rupa, baik itu mentah, dikukus, direbus dan dipanggang, semuanya disajikan di atas nampan koral dan pinggan kristal, disuguhkan semua di hadapannya, serta sake yang paling enak yang belum pernah Hidesato cicipi sebelumnya selama hidupnya. Menambah keceriaan, matahari bersinar dengan cemerlangnya, dan danau itu bermandikan cahaya seperti sebuah berlian cair, dan istana itu tampak seribu kali lebih indah di pagi hari ketimbang malam hari.

Sang tuan rumah berusaha membujuk sang ksatria untuk tinggal beberapa hari lagi, tetapi Hidesato bersikeras untuk pulang, dengan mengatakan kalau dia telah melakukan apa yang harus dilakukannya, dan kini saatnya untuk kembali. Raja Naga dan keluarganya semuanya sangat sedih harus segera melepas kepergian sang ksatria, tetapi karena sang ksatria tetap akan pergi maka mereka memohon agar dia mau menerima sedikit hadiah kecil (begitu kata mereka) sebagai tanda ungkapan rasa terima kasih mereka padanya karena telah membebaskan mereka selama-lamanya dari gangguan musuh mereka, si kelabang.

Ketika sang ksatria sudah berdiri di beranda hendak berangkat pulang, segerombolan ikan tiba-tiba berubah menjadi iring-iringan manusia, semua mengenakan pakaian kebesaran istana dan mahkota naga di kepalanya asing-masing untuk menunjukkan kalau mereka ini adalah pelayan-pelayan dari Raja Naga yang agung. Hadiah yang mereka bawa adalah:
Pertama, sebuah lonceng perunggu besar.
Kedua, sebuah karung beras.
Ketiga, satu gulung kain sutera.
Keempat, sebuah panci masak.
Kelima, sebuah lonceng


Hidesato mulanya tak mau menerima semua hadiah itu, tetapi karena Raja Naga memaksa, maka dia pun akhirnya tak menolak.

Raja Naga sendiri ikut menemani sang ksatria sampai jembatan, lalu meninggalkan sang ksatria di sana sambil banyak-banyak membungkuk dan mengucapkan salam, melepas iring-iringan pelayannya menemani Hidesato sampai ke rumah sang ksatria itu sambil membawakan hadiah-hadiahnya.

Seisi rumah sang ksatria dan pelayan-pelayannya sangat khawatir ketika mereka menyadari kalau Hidesato tak kunjung pulang di malam sebelumnya, tetapi  mereka kemudian menyimpulkan kalau Hidesato pasti tertahan oleh badai yang dahsyat dan pasti tengah berteduh di suatu tempat. Ketika pelayan-pelayan yang tengah berjaga-jaga menanti kepulangannya melihat tuannya dari kejauhan, mereka pun lalu memanggil semua orang dan memberi tahu kalau Hidesato datang, dan semua orang rumah berebutan ke luar menemuinya, terheran-heran melihat iring-iringan orang yang berjalan di belakang Hidesato sambil membawa  hadiah dan umbul-umbul.


Begitu pengawal-pengawal Raja Naga meletakkan hadiah-hadiah yang mereka bawa, mereka pun segera menghilang. Lalu Hidesato menceritakan pada semuanya peristiwa yang dialaminya.


Hadiah-hadiah yang diterimanya dari Raja Naga sebagai ungakapan rasa terima kasih itu ternyata memiliki kekuatan sihir. Loncengnya saja terlihat seperti lonceng biasa pada umumnya, dan karena Hidesato tak membutuhkannya maka diberikan lonceng itu untuk kuil di dekat rumahnya, di mana lonceng itu lalu digantung di sana untuk  dibunyikan sebagai tanda waktu ke seluruh penduduk yang tinggal di sekitarnya.


Karung beras itu, walaupun dari dalamnya diambil beras setiap hari untuk makanan sang ksatria dan seluruh keluarganya, tak kelihatan berkurang sedikitpun isinya.  Beras yang ada di dalamnya itu tak pernah kunjung habis.



Gulungan kain sutera itu juga, tak pernah menjadi lebih pendek walaupun setiap saat digunting panjang sekalipun untuk dipakai membuat baju baru bagi sang ksatria yang dikenakannya pada saat pergi ke istana setiap tahun baru.


Panci masak itupun sangat mengagumkan juga. Tak peduli apapun yang dimasukkan ke dalamnya, panci itu akan memasaknya menjadi hidangan yang sangat lezat walaupun tanpa harus menyalakan api sekalipun, sungguh panci masak yang sangat praktis.


Ketenaran mengenai nasib beruntung  Hidesato menyebar luas sampai ke daerah-daerah yang jauh, dank arena Hidesato tak perlu mengeluarkan uang sesenpun untuk membeli beras ataupun untuk membeli kain sutera atau bahkan kayu bakar untuk menyalakan api buat memasak. Hidesato pun menjadi sangat kaya dan makmur, dan sejak saat itu Hidesato dikenal dengan julukan Tuanku Pembawa Karung Beras.


Sumber:

Dongeng Klasik Jepang, karya Yei Theodora Ozaki

Tuesday, November 7, 2017

Mikoshi: Kuil Mini yang Tak Pernah Absen di Setiap Matsuri




Hampir setiap matsuri (festival) yang digelar di seluruh penjuru Negeri Sakura selalu menghadirkan mikoshi. Kuil mini atau portable tersebut biasanya dihias indah dan digotong ramai-ramai, menjadikannya momen sangat menarik di berbagai acara yang ditandai kemeriahan massal.

Mikoshi kerap disebut juga sebagai omikoshi, ada juga yang menyebutnya shin’yo. Dalam buku NHK no Tsubo Mikoshi dijelaskan bahwa kata itu menggambarkan replica dari kuil Shinto. Ciri khasnya adalah tori (gerbang masuk yang terbuat dari kayu).

Atap mikoshi ditandai dengan ukiran burung houou, sejenis rajawali yang membuat mikoshi terihat gagah. Diperlukan keahlian khusus untuk membuat mikoshi karena sifatnya yang sarat detil dan keharusannya untuk terlihat elegan. Itu sebabnya mikoshi kerap dianggap sebagai bunga (bagian paling menawan dari setiap matsuri.

Kuil mini ini biasanya terbuat dari kayu yang dipernis hitam. Selain itu ada bilah kayu yang dipasang sejajar dan berfungsi sebagai pemikul. Ada juga bagian badan, atap dan alas yang juga menjadi semacam penyangga bagi badan. Badan sendiri biasanya berbentuk persegi, heksagonal atau oktagonal.

Berdasarkan sejarahnya, para pengikut Shinto percaya bahwa mikoshi berfungsi sebagai kendaraan untuk mengangkut para dewa di Jepang saat menuju kuil utama dan kuil lain selama festival atau saat pindah ke kuil baru. Meski tak pernah dijelaskan dari mana asal usulnya, namun pada zaman Heian (794 – sekitar 1185), mikoshi mulai dipakai di seluruh Jepang sebagai sarana transportasi untuk “mengantar” para dewa mengunjungi matsuri. Karena memanggul mikoshi dipercaya akan mendatangkan kebahagiaan, rezeki, dan kesejahteraan. Mikoshi juga merupakan hal vital dalam setiap festival di jepang, yang berarti tak boleh absen.


antusiasme warga Jepang saat memanggul mikoshi

antusiasme warga Jepang saat memanggul mikoshi

Masyarakat Jepang tentu saja tak pernah tak antusias dalam urusan panggul memangguk ini. Salah satu laman rocketnews24.com menyebut bahwa setiap prefektur mempunyai warga yang pernah menjadi pemanggul mikoshi. Bahkan ada lelaki yang mempunyai tanda kapalan di bahu saking seringnya memanggul kuil mini nan apik ini. Tak seorangpun megaku kapok dan  menyatakan akan terus siap selagi mampu untuk memanggul mikoshi lagi dan lagi. Hal ini merupakan refleksi dari dedikasi mereka pada kepercayaan Shinto dan komunitasnya, para dewa serta kuilnya.

Beragam
Dalam setiap matsuri  ada beragam ukuran mikoshi. Ada yang kecil dan ada yang besar. Yang besar bobotnya bias lebih dari satu ton sehingga perlu puluhan orang untuk memanggulnya. Belakangan ada juga yang diangkut dengan kereta dorong sehingga tak memerlukan terlalu banyak orang.
mikoshi yang diangkut kereta dorong

mikoshi yang diangkut kereta dorong


Kini pemanggul bisa lelaki, bisa pula perempuan biasa. Sebelumya, mereka –disebut katsugite – hanya para penganut kepercayaan Shinto. Saat “bertugas” mereka kerap mengenakan pakaian tradisional atau seragam unik. Untuk menyemangati biasanya para pemanggul  meneriakkan yel-yel dan irama tertentu. Ada kalanya mkoshi dengan bobot ringan juga dihadirkan dalam matsuri agar bisa diangkat anak-anak. Dengan cara ini, bahkan sejak usia dini, anak-anak akan terbiasa dengan prosesi panggul-memanggul ini.

para wanita pemanggul mikoshi mengenakan pakaian unik

para wanita pemanggul mikoshi mengenakan pakaian unik


anak-anak turut serta memanggul mikoshi

Di Jepang ada beberapa festival yang terkenal karena keindahan mikoshinya. Di aintaranya, festival Takayama di mana kuil mini ini terlihat sangat mempesona karena dibuat oleh tangan-tangan terampil di Hida. Saat malam tiba, replika kuil tersebut akan dihiasi lentera menyala yang perlahan-lahan menerangi kota. Keindahannya sungguh fantastis. Dalam kesempatan ini, semua pemanggul mengenakan kimono tradisional. Festival yang disebut-sebut sebagai tiga festival terindah di Jepang ini digelar dua kali yaitu saat musim semi dan musim gugur.
mikoshi di Festival Takayama yang indah dan megah

Mikoshi super atraktif juga ada di Festival Hana, prefektur Gifu, karena aneka hiasan sakura dari kertas washi. Biasanya, tarian Hana Mikoshi yang energik dan bertenaga juga mengiringi.

Selain itu ada Sanja Matsuri yang kerap ditunggu-tunggu karena mikoshinya yang amat berat, lebih dari satu ton dan akan mengelilingi Asakusa selama tiga hari. Setiap tahun sampai 1,5 juta orang hadir dalam keriaan ini.



Sumber:
Tabloid Halo Jepang! Edisi Oktober 2017