Thursday, November 23, 2017

Dongeng Jepang: Tuanku Pembawa Karung Beras


Dahulu kala, tinggalah di Jepang seorang ksatria yang gagah berani. Semua orang memanggilnya TawaraToda, atau “Tuanku Pembawa Karung Beras”. Nama aslinya adalah Fujiwara Hidesato, dan ada cerita yang menarik di baliknya, mengapa namanya diubah menjadi demikian.

Di suatu hari ketika Hidesato tengah berjalan-jalan mencari petualangan, karena pada dasarnya dia memiliki naluri seorang ksatria sehingga dia tak tahan kalau hanya berdiam diri saja. Maka kemudian disarungkan dua pedangnya, membawa serta busurnya yang besar, yang ukurannya lebih tnggi dari badannya sendiri, lalu setelah menyampirkan selempang anak panah di punggungnya, Hidesato pun berangkat. Sang ksatria belum berjalan terlalu jauh ketika dia sampai di jembatan Seta-no-Karashi yang membentang dari salah satu ujung danau Biwa yang elok itu. Tak lama begitu dipijakkan kakinya di atas jembatan, dilihatnya tepat merintangi jalan di hadapannya itu, tengah berbaring seekor ular naga raksasa. Badan naga itu begitu besarnya sampai-sampai terlihat seperti onggokan batang pohon pinus besar yang menutupi seluruh area jembatan. Salah satu cakarnya yang sangat besar itu bertengger di atas satu sisi tembok jembatan, sementara ekornya tergeletak tepat berdampingan satu dengan lainnya. Monster itu kelihatannya sedang tertidur, dan saat bernafas, api dan asap berhembus dari lubang hidungnya.

Awalnya, Hidesato merasa gentar juga saat melihat sosok reptil mengerikan yang terbaring menghalangi jalannya kini. Dia harus memutuskan akan berbalik kembali pulang atau berjalan menaiki badan naga itu. Tetapi Hidesato adalah orang yang pemberani, lalu segera disingkirkan semua ketakutannya, dan dengan gagah berani melangkah maju. Kres, kres, kres! Begitu suara yang terdengar saat diinjakkan kakinya di atas badan si naga yang menggelung. Tanpa menengok sedikitpun ke belakang, Hidesato berjalan terus.

Hidesato belum jauh melangkah ketika didengarnya ada seseorang yang memanggilnya dari belakang. Ketika dia berbalik, dia begitu terkejut ketika menyadari monster naga itu sama sekali sudah lenyap, dan di tempat naga itu kini dilihatnya seorang pria dengan wajah yang aneh, yang kini membungkukkan badan dengan sangat hormatnya ke tanah. Rambutnya yang berwarna merah tergerai sampai ke bahunya, dan dia atas kepalanya bertengger sebuah mahkota berbentuk kepala naga, dan bajunya yang berwarna hijau laut itu bercorakkan motif kerang-kerangan. Hidesato langsung menyadari kalau orang itu pasti bukanlah manusia biasa , dan terheran-heran atas kejadian aneh itu. Kemana perginya sang monster naga dalam waktu yang secepat itu? Ataukah naga tadi sudah berubah menjadi sosok orang, dan apa arti semuanya ini? Sementara pikirannya dipenuhi pertanyaan, dihampirinya orang itu di atas jembatan dan disapanya:
“Apa itu tadi tuan yang baru saja memanggilku?”
“Betul, akulah yang memanggilmu,” jawab orang itu, “aku memiliki satu permintaan padamu. Bisakah kau kabulkan untukku?”
“Kalau aku bisa mengabulkannya, akan kulakukan,” Jawab Hidesato, “tapi pertama-tama katakan siapakah tuan ini?”
“Aku adalah Raja Naga dari Danau ini, dan rumahku ada di danau ini, tepat di bawah jembatan ini.”
“Lalu apa yang tuan kehendaki dariku?” Tanya Hidesato.
“Aku ingin kau membunuh musuh bebuyutanku si kelabang, yang hidup di balik gunung di sana itu,” lalu si Raja Naga menunjuk ke arah sebuah puncak tinggi di seberang pantai danau.
“Aku mendiami danau ini selama bertahun-tahun dan memiliki sebuah keluarga besar dengan anak-anak dan cucu-cucuku. Selama beberapa tahun terakhir ini kami hidup dalam ketakutan, setelah seekor monster kelabang berhasil menemukan tempat tinggal kami, dan setiap malam monster itu akan datang dan selalu menyeret pergi satu anggota keluargaku. Aku tak berdaya, tak bisa menyelamatkan mereka. Jika ini berlangsung terus-menerus, aku bukan hanya kehilangan semua anak-anakku, tapi aku sendiri juga akan menjadi korban monster itu. Oleh karenanya, aku merasa sangat sedih dan putus asa, lalu kuputuskan untuk meminta bantuan manusia. Selama beberapa hari, dengan maksud itu, kutunggu di atas jembatan sambil mengubah wujudku menjadi seekor ular naga yang menakutkan yang kau lihat tadi, berharap ada manusia yang pemberani dan kuat yang datang menghampiri. Tetapi semua orang yang hendak melintasi jalan ini, begitu dilihatnya sosokku, akan ketakutan dan lari tunggang langgang secepat mungkin. Kau adalah orang pertama yang sanggup menghadapiku tanpa merasa takut , jadi aku bisa langsung tahu kalau kau ini orang yang gagah berani. Kumohon kasihanilah hamba. Bersediakah kau menolongku dan membunuh musuhku si kelabang?”


Ketika mendengar kisah itu, Hidesato merasa kasihan pada si Raja Naga, dan langsung berjanji melakukan sebisanya untuk membantunya. Sang ksatria menanyakan di mana tinggalnya si kelabang itu, sehingga bisa diserangnya makhluk itu segera. Raja Naga menjawab kalau rumah kelabang itu ada di gunung Mikami, tetapi si kelabang akan datang setiap malam pada jam-jam tertentu ke istana di danau, jadi akan lebih baik kalau mereka menunggu saja sampai saat itu tiba. Setelah itu Hidesato diantar sampai ke istana milik Raja Naga, yang terletak di bawah jembatan. Aneh bin ajaib, ketika diikutinya sang tuan rumah berjalan turun ke dalam danau, air membelah membiarkan mereka lewat, dan bajunya sama sekali tidak terasa basah waktu dilewatinya air tadi. Belum pernah sebelumnya Hidesato menyaksikan pemandangan seindah istana dari marmer itu yang berada di dasar danau. Dia sering mendengar cerita tentang istana Raja Laut di dasar laut, di mana semua dayang-dayang dan pengawalnya adalah ikan-ikan laut, tetapi yang ini adalah bangunan yang luar biasa megahnya di jantung Dnau Biwa. Ika-ikan mas yang elok, gurame merah, ikan-ikan trout keperakan, semuanya tengah menanti kedatangan sang Raja Naga beserta tamunya.

Hidesato terkagum-kagum menikmati pesta yang digelar menyambut kedatangannya. Makanan yang disajikan berupa kristal daun-daun dan bunga teratai, lalu sumpitnya terbuat dari gading dari jenis sangat langka. Begitu mereka duduk, pintu geser terbuka dan keluarlah sepuluh ikan-ikan mas penari yang cantik-cantik, lalu di belakang mereka menyusul sepuluh musisi yang terdiri atas ikan-ikan gurame merah yang memainkan alat musik koto dan shamisen. Pesta berlangsung hampir menjelang tengah malam, dan alunan musik seta tari-tarian yang indah itu menyingkirkan semua kekhawatiran pada si kelabang. Raja Naga baru saja hendak menawarkan lagi secangkir sake pada sang ksatria, ketika istana itu tiba-tiba bergetar oleh guncangan hebat…gedubrak…gedubrak! Seperti suara sepasukan tentara yang berbaris tak jauh dari mereka.

Hidesato dan sang tuan rumah langsung berdiri dan bergegas menuju balkon istana, dan dilihatnya dari arah seberang gunung dua bola besar yang memancarkan api datang semakin mendekat. Raja Naga berdiri di samping sang ksatria gemetar ketakutan.
“Si kelabang! Si kelabang! Dua bola api itu adalah matanya. Dia datang untuk mengambil mangsanya.”

Hidesato memandang ke arah yang ditunjuk tuan rumahnya itu, dan di bawah pendaran samar-samar cahaya bintang-bintang malam, di belakang kedua bola api itu dilihatnya badan si kelabang raksasa yang panjang bergelung mengitari gunung, lalu kelap kerlip pada kaki seribunya bersinar bagaikan lentera yang banyak sekali di kejauhan yang bergerak perlahan-lahan menuju pantai.


Hidesato tidak memperlihatkan sama sekali tanda-tanda rasa takut. Dicobanya untuk menenangkan sang Raja Naga.
“Jangan takut. Pasti akan kubunuh kelabang itu. Tolong ambilkan saja busur dan anak panahku.”

Raja Naga menurutinya, dan sang kesatria lalu menyadari kalau dia hanya punya tiga anak panah lagi saja dalam kantong panahnya. Diangkat busurnya, lalu dipasangnya sebuah anak panah , membidik dengan hati-hati dan diluncurkannya anak panah itu.

Anak panah itu mengenai si kelabang tepat di tengah-tengah kepalanya, tetapi bukannya malah menembusnya, anak panah itu sebaliknya malah menggelinding lalu terjatuh ke tanah.

Tak gentar sama sekali, Hidesato lalu mengambil anak panah lainnya, memasangnya pada busur lalu meluncurkannya. Anak panah itu juga tepat mengenai sasaran, mengenai si kelabang tepat di tengah-tengah kepalanya, tetapi sekali lagi hanya menggelinding terjatuh ke tanah. Kelabang tu ternyata tdak mempan pada senjata! Ketika Raja Naga melihat hal ini, ketika bahkan anak panah dari ksatrianya yang paling pemberani itu tak mempan membunuh si kelabang, dia jadi putus asa dan gemetar ketakutan.

Sang ksatria menyadari kalau dia kini hanya punya satu anak panah lagi saja di kantong panahnya, jadi kalau yang ini pun gagal, maka berart dia tak akan bisa membunuh si kelabang. Dilemparkan pandangannya di atas hamparan air danau itu. Reptil raksasa itu kini sudah menggelungkan badannya yang mengerikan itu tujuh keliling mengitari gunung di depannya, dan tak akan lama lagi akan sampai ke danau. Semakin mendekat nyala bola-bola mata itu beserta kerlap-kerlip dari ke seribu kakinya yang memantul bayangan sinarnya pada permukaan air danau yang tenang.

Untungnya sang ksatria ingat kalau dia pernah mendengar cerita bahwa ludah menusia bisa mematikan bagi kelabang. Tapi kelabang yang satu ini bukan sembarang kelabang. Ukurannya saja sangat besar, membuat orang membayangkannya saja sudah merinding ngeri. Hidesato bertekad untuk mencoba lagi terakhir kalinya. Lalu diambilnya anak panah terakhir, membasahi dulu ujung anak panah itu  ke dalam mulutnya, dipasangkan anak panah itu pada busurnya, lalu dibidiknya lagi dengan cermat dan diluncurkannya anak panahnya itu.

Kali ini anak panah itu sekali lagi mengenai si kelabang tepat di tengah-tengah kepalanya, tetapi bukannya menggelinding jatuh seperti sebelum-sebelumnya, anak panah itu menancap sampai ke otak si kelabang. Setelah menggelepar-geleparr kejang, badan makhluk ular itu diam tak bergerak sama sekali, dan pancaran cahaya yang menakutkan dari matanya yang besar dan seribu kaki-kakinya itu memudar bagaikan sinar matahari yang redup di hari hujan, kemudian mati dalam kegelapan. Kegelapan total kini menyelimuti seluruh kayangan, bagai bergulung-gulung, kilat menyambar-nyambar dan suara angina menggerung murka, dan dunia seolah-olah hendak kiamat. Sang Raja Naga dan anak-anak serta pengawal-pengawalnya semua meringkuk di segala pelosok istana itu, ketakutan setengah mati, karena bangunan istana berguncang-guncang sampai ke pondasi istana. Akhirnya malam yang menakutkan itu pun berlalu. Lalu hari menyingsing dengan cerah dan indahnya. Si kelabang telah lenyap dari gunung itu.

Hidesato lalu memanggil Raja Naga untuk keluar bersamanya ke balkon, karena si kelabang telah mati dan tak ada lagi yang harus ditakutinya lagi. Lalu semua penghuni istana ke luar dengan suka cita, dan Hidesato menunjuk kea rah danau. Di situ tergeletak mayat si kelabang yang mengapung di atas air yang berubah warnanya menjadi merah karena darah si kelabang.

Rasa terima kasih sang Raja Naga tak terkira besarnya. Semua anggota keluarganya keluar dan membungkuk hormat di hadapan sang ksatria paling gagah berani di seantero Jepang.

Digelar pesta lagi, lebih megah dari sebelumnya. Semua jenis menu ikan, yang disuguhkan bermacam-macam rupa, baik itu mentah, dikukus, direbus dan dipanggang, semuanya disajikan di atas nampan koral dan pinggan kristal, disuguhkan semua di hadapannya, serta sake yang paling enak yang belum pernah Hidesato cicipi sebelumnya selama hidupnya. Menambah keceriaan, matahari bersinar dengan cemerlangnya, dan danau itu bermandikan cahaya seperti sebuah berlian cair, dan istana itu tampak seribu kali lebih indah di pagi hari ketimbang malam hari.

Sang tuan rumah berusaha membujuk sang ksatria untuk tinggal beberapa hari lagi, tetapi Hidesato bersikeras untuk pulang, dengan mengatakan kalau dia telah melakukan apa yang harus dilakukannya, dan kini saatnya untuk kembali. Raja Naga dan keluarganya semuanya sangat sedih harus segera melepas kepergian sang ksatria, tetapi karena sang ksatria tetap akan pergi maka mereka memohon agar dia mau menerima sedikit hadiah kecil (begitu kata mereka) sebagai tanda ungkapan rasa terima kasih mereka padanya karena telah membebaskan mereka selama-lamanya dari gangguan musuh mereka, si kelabang.

Ketika sang ksatria sudah berdiri di beranda hendak berangkat pulang, segerombolan ikan tiba-tiba berubah menjadi iring-iringan manusia, semua mengenakan pakaian kebesaran istana dan mahkota naga di kepalanya asing-masing untuk menunjukkan kalau mereka ini adalah pelayan-pelayan dari Raja Naga yang agung. Hadiah yang mereka bawa adalah:
Pertama, sebuah lonceng perunggu besar.
Kedua, sebuah karung beras.
Ketiga, satu gulung kain sutera.
Keempat, sebuah panci masak.
Kelima, sebuah lonceng


Hidesato mulanya tak mau menerima semua hadiah itu, tetapi karena Raja Naga memaksa, maka dia pun akhirnya tak menolak.

Raja Naga sendiri ikut menemani sang ksatria sampai jembatan, lalu meninggalkan sang ksatria di sana sambil banyak-banyak membungkuk dan mengucapkan salam, melepas iring-iringan pelayannya menemani Hidesato sampai ke rumah sang ksatria itu sambil membawakan hadiah-hadiahnya.

Seisi rumah sang ksatria dan pelayan-pelayannya sangat khawatir ketika mereka menyadari kalau Hidesato tak kunjung pulang di malam sebelumnya, tetapi  mereka kemudian menyimpulkan kalau Hidesato pasti tertahan oleh badai yang dahsyat dan pasti tengah berteduh di suatu tempat. Ketika pelayan-pelayan yang tengah berjaga-jaga menanti kepulangannya melihat tuannya dari kejauhan, mereka pun lalu memanggil semua orang dan memberi tahu kalau Hidesato datang, dan semua orang rumah berebutan ke luar menemuinya, terheran-heran melihat iring-iringan orang yang berjalan di belakang Hidesato sambil membawa  hadiah dan umbul-umbul.


Begitu pengawal-pengawal Raja Naga meletakkan hadiah-hadiah yang mereka bawa, mereka pun segera menghilang. Lalu Hidesato menceritakan pada semuanya peristiwa yang dialaminya.


Hadiah-hadiah yang diterimanya dari Raja Naga sebagai ungakapan rasa terima kasih itu ternyata memiliki kekuatan sihir. Loncengnya saja terlihat seperti lonceng biasa pada umumnya, dan karena Hidesato tak membutuhkannya maka diberikan lonceng itu untuk kuil di dekat rumahnya, di mana lonceng itu lalu digantung di sana untuk  dibunyikan sebagai tanda waktu ke seluruh penduduk yang tinggal di sekitarnya.


Karung beras itu, walaupun dari dalamnya diambil beras setiap hari untuk makanan sang ksatria dan seluruh keluarganya, tak kelihatan berkurang sedikitpun isinya.  Beras yang ada di dalamnya itu tak pernah kunjung habis.



Gulungan kain sutera itu juga, tak pernah menjadi lebih pendek walaupun setiap saat digunting panjang sekalipun untuk dipakai membuat baju baru bagi sang ksatria yang dikenakannya pada saat pergi ke istana setiap tahun baru.


Panci masak itupun sangat mengagumkan juga. Tak peduli apapun yang dimasukkan ke dalamnya, panci itu akan memasaknya menjadi hidangan yang sangat lezat walaupun tanpa harus menyalakan api sekalipun, sungguh panci masak yang sangat praktis.


Ketenaran mengenai nasib beruntung  Hidesato menyebar luas sampai ke daerah-daerah yang jauh, dank arena Hidesato tak perlu mengeluarkan uang sesenpun untuk membeli beras ataupun untuk membeli kain sutera atau bahkan kayu bakar untuk menyalakan api buat memasak. Hidesato pun menjadi sangat kaya dan makmur, dan sejak saat itu Hidesato dikenal dengan julukan Tuanku Pembawa Karung Beras.


Sumber:

Dongeng Klasik Jepang, karya Yei Theodora Ozaki

Tuesday, November 7, 2017

Mikoshi: Kuil Mini yang Tak Pernah Absen di Setiap Matsuri




Hampir setiap matsuri (festival) yang digelar di seluruh penjuru Negeri Sakura selalu menghadirkan mikoshi. Kuil mini atau portable tersebut biasanya dihias indah dan digotong ramai-ramai, menjadikannya momen sangat menarik di berbagai acara yang ditandai kemeriahan massal.

Mikoshi kerap disebut juga sebagai omikoshi, ada juga yang menyebutnya shin’yo. Dalam buku NHK no Tsubo Mikoshi dijelaskan bahwa kata itu menggambarkan replica dari kuil Shinto. Ciri khasnya adalah tori (gerbang masuk yang terbuat dari kayu).

Atap mikoshi ditandai dengan ukiran burung houou, sejenis rajawali yang membuat mikoshi terihat gagah. Diperlukan keahlian khusus untuk membuat mikoshi karena sifatnya yang sarat detil dan keharusannya untuk terlihat elegan. Itu sebabnya mikoshi kerap dianggap sebagai bunga (bagian paling menawan dari setiap matsuri.

Kuil mini ini biasanya terbuat dari kayu yang dipernis hitam. Selain itu ada bilah kayu yang dipasang sejajar dan berfungsi sebagai pemikul. Ada juga bagian badan, atap dan alas yang juga menjadi semacam penyangga bagi badan. Badan sendiri biasanya berbentuk persegi, heksagonal atau oktagonal.

Berdasarkan sejarahnya, para pengikut Shinto percaya bahwa mikoshi berfungsi sebagai kendaraan untuk mengangkut para dewa di Jepang saat menuju kuil utama dan kuil lain selama festival atau saat pindah ke kuil baru. Meski tak pernah dijelaskan dari mana asal usulnya, namun pada zaman Heian (794 – sekitar 1185), mikoshi mulai dipakai di seluruh Jepang sebagai sarana transportasi untuk “mengantar” para dewa mengunjungi matsuri. Karena memanggul mikoshi dipercaya akan mendatangkan kebahagiaan, rezeki, dan kesejahteraan. Mikoshi juga merupakan hal vital dalam setiap festival di jepang, yang berarti tak boleh absen.


antusiasme warga Jepang saat memanggul mikoshi

antusiasme warga Jepang saat memanggul mikoshi

Masyarakat Jepang tentu saja tak pernah tak antusias dalam urusan panggul memangguk ini. Salah satu laman rocketnews24.com menyebut bahwa setiap prefektur mempunyai warga yang pernah menjadi pemanggul mikoshi. Bahkan ada lelaki yang mempunyai tanda kapalan di bahu saking seringnya memanggul kuil mini nan apik ini. Tak seorangpun megaku kapok dan  menyatakan akan terus siap selagi mampu untuk memanggul mikoshi lagi dan lagi. Hal ini merupakan refleksi dari dedikasi mereka pada kepercayaan Shinto dan komunitasnya, para dewa serta kuilnya.

Beragam
Dalam setiap matsuri  ada beragam ukuran mikoshi. Ada yang kecil dan ada yang besar. Yang besar bobotnya bias lebih dari satu ton sehingga perlu puluhan orang untuk memanggulnya. Belakangan ada juga yang diangkut dengan kereta dorong sehingga tak memerlukan terlalu banyak orang.
mikoshi yang diangkut kereta dorong

mikoshi yang diangkut kereta dorong


Kini pemanggul bisa lelaki, bisa pula perempuan biasa. Sebelumya, mereka –disebut katsugite – hanya para penganut kepercayaan Shinto. Saat “bertugas” mereka kerap mengenakan pakaian tradisional atau seragam unik. Untuk menyemangati biasanya para pemanggul  meneriakkan yel-yel dan irama tertentu. Ada kalanya mkoshi dengan bobot ringan juga dihadirkan dalam matsuri agar bisa diangkat anak-anak. Dengan cara ini, bahkan sejak usia dini, anak-anak akan terbiasa dengan prosesi panggul-memanggul ini.

para wanita pemanggul mikoshi mengenakan pakaian unik

para wanita pemanggul mikoshi mengenakan pakaian unik


anak-anak turut serta memanggul mikoshi

Di Jepang ada beberapa festival yang terkenal karena keindahan mikoshinya. Di aintaranya, festival Takayama di mana kuil mini ini terlihat sangat mempesona karena dibuat oleh tangan-tangan terampil di Hida. Saat malam tiba, replika kuil tersebut akan dihiasi lentera menyala yang perlahan-lahan menerangi kota. Keindahannya sungguh fantastis. Dalam kesempatan ini, semua pemanggul mengenakan kimono tradisional. Festival yang disebut-sebut sebagai tiga festival terindah di Jepang ini digelar dua kali yaitu saat musim semi dan musim gugur.
mikoshi di Festival Takayama yang indah dan megah

Mikoshi super atraktif juga ada di Festival Hana, prefektur Gifu, karena aneka hiasan sakura dari kertas washi. Biasanya, tarian Hana Mikoshi yang energik dan bertenaga juga mengiringi.

Selain itu ada Sanja Matsuri yang kerap ditunggu-tunggu karena mikoshinya yang amat berat, lebih dari satu ton dan akan mengelilingi Asakusa selama tiga hari. Setiap tahun sampai 1,5 juta orang hadir dalam keriaan ini.



Sumber:
Tabloid Halo Jepang! Edisi Oktober 2017



   

Friday, October 27, 2017

Shimane University, Pelopor Fakultas Intrdisiplin di Jepang



Shimane University terletak di prefektur Shimane, di bagian barat Jepang. Dibanding ke Tokyo, jaraknya lebih dekat ke Busan, Korea Selatan. Tetapi soal inovasi tak kalah dibanding universitas ternama lainnya, bahkan Shimane University berani menjadi pelopor.

Pada Oktober 1995 mereka mendirikan Interdisiplinary Faculty of Science and Engineering. Fakultas baru ini merupakan reorganisasi dari Faculty of Science dan Faculty of Agriculture yang memiliki lima jurusan, yakni Material Science, Geoscience, Mathematics and Computer Science, Mechanical, Electrical and Electronic Engineering, serta Architecture and Production Design Engineering.

Fakultas interdisiplin ini mengintegrasikan natural science berdasarkan pendidikan dan penelitian fundamental untuk mengembangkan teknologi mutakhir guna mencari solusi bagi masyarakat setempat. Majalah Shukan Asahi, pada 2012, menempatkan Interdisiplinary Faculty of Science Engineering, Shimane University sebagai fakultas terbaik di Jepang.
 
Fakultas interdisipliner universitas Shimane

Dua Kota
Universitas nasional yang berdiri  pada 1949 ini sejatinya sudah beraktivitas sejak 1876 sebagai sekolah pelatihan guru. Kampus ini terus berkembang dan kini memiliki enam fakultas yang berada di dua kampus, Matsue dan Izumo. Di kampus Matsue terdapat Fakultas Hukum dan Sastra, Fakultas Pendidikan, Fakultas Interdisiplin Sains dan Teknik (Science Engineering), Fakultas Ilmu Hayati dan Lingkungan (Life and Environmental Science) dan Fukultas Human Science (didirikan 1 April 2017). Sementara itu, di kampus Izumo hanya ada Fakultas Kedokteran yang berdiri sejak 1979 dan Sekolah Keperawatan (Nursing School).

Kampus Matsuo dan Izumo dipisahkan oleh danau Shinji. Walaupun terletak di dua kota, setiap kampus dilengkapi dengan fasilitas laboratorium yang terorganisir dengan baik dan fasilitas yang dapat digunakan basic research maupun advance research. Di Fakultas Kedokteran dilakukan berbagai proyek penelitian dasar dan klinis, serta dikembangkan perangkat  medis baru dan teknik untuk pelayanan kesehatan unggul. Salah satu teknologi medis yang berhasil dikembangkan di universitas ini adalah penyembuhan fraktur menggunakan tulang autologues bone screw. Sementara itu, perpustakaan ada di setiap departemen dan juga terdapat perpustakaan umum dengan koleksi buku, jurnal, majalah, dan situs yang mudah diakses. Terdapat kurang lebih 880.000 buku, dan diperkaya digital library yang disa diakses 24 jam.

Kampus pun menyediakan layanan kesehatan berupa klinik dan health center, Shimane University Hospital. Medical Check Up untuk mahasiswa  rutin dilaksanakan setiap enam bulan. Untuk beribadah juga mudah. Di kampus Matsue terdapat masjid yang dikelola mahasiswa dan komunitas muslim. Di kampus Izumo mahasiswa menggunakan ruang serba guna untuk sholat Jumat. Disediakan juga ruangan khusus untuk sholat lima waktu berjamaah.
Shimane University Hospital



Hemat
Baik Matsue maupun Izumo adalah kota yang bersih, tenang, dan aman sehingga kondusif untuk menimba ilmu. Penduduknya ramah, bersahabat dan suka menolong. Sebagai tambahan, Izumo adalah kota ramah anak sehingga bagi mahasiswa yang memilki anak mudah mengakses daycare. Fasilitas public seperti rumah sakit, perpustakaan, taman bermain atau science center mudah dijangkau dengan transportasi umum maupun pribadi.


Sumber:

Tabloid Halo Jepang! Edisi Oktober 2017

Monday, October 2, 2017

YUGIOH, “Duel Monster” Guna Mencerdaskan Otak


kartu yugioh berbahasa Inggris

Di antara beberapa permainan kartu dari Negeri Sakura, yugioh merupakan yang paling fenomenal karena pernah tercatat dalam Guiness World of Records pada 2009. Kartu yang dipublikasikan Konami-industri perangkat lunak dan game- di Jepang ini dihadirkan berdasarkan permainan  ‘duel monster’ karya mangaka Takahashi Kazuki. Pertama diluncurkan pada 1999, kartu ini menjadi top seling trading card game di dunia dengan terjualnya 25 miliar kartu sehingga tercatat dalam Guiness World of Records pada 7 Juli 1999.

kartu yugioh berbahasa Jepang
Yugioh kerap disebut sebagai kartu duel monster karena permainan ini ditentukan oleh peran kartu jenis monster. Permainan ini terus berkembang ke seluruh dunia, meski kebanyakan masih dimainkan di Jepang, disusul di Amerika Utara, Eropa dan Australia.

Sebagai permainan asah otak, yugioh hanya bias melibatkan orang yang mempunyai kecerdasan tinggi. Karena permianan ini tergolong rumit dan mempunyai banyak efek sehingga perlu strategi tersendiri  untuk menjadi pemenang. Permainan ini juga memungkinkan orang untuk mempelajari budaya dan bahasa Jepang. Meski demikian, kini banyak juga kartu tersedia dalam bahasa Inggris bahakan belakangan juga dalam bahasa Indonesia.


Aturan Main
Yugioh dimainkan dua orang yang masing-masing diberi Life Point (LP) 2.000 hingga 16.000, atau jumlah yang disepakati. LP ibarat nyawa saat bermain. Dalam setiap permainan, digunakan deck (tempat menampung kartu), minimal berisi 40 kartu dan maksimal 60 kartu. Jika kuramg dari 40 atau lebih dari 60 maka pemain terkena diskualifikasi. Selain itu hanya boleh ada maksimal tiga kartu yang bernama sama persis dalam satu deck.

Sama seperti permainan kartu lain, pemain harus mengocok deck lawan dan mengembalikan pada pemiliknya. Pertandingan dimulai dengan undian menggunakan koin atau cara lain untuk menentukan pemain awal. Pemain yang beraksi lebih dulu dialrang menyerang kecuali ada suatu hal yang menyebabkan dia berhak melakukannya.

Setiap pemula harus mempelajari aturan, istilah dan fungsi-fungsi semua kartu. Permainan yugioh ditentukan tiga jenis kartu yaitu: monster, magic, dan trap. Ketiganya memiliki fungsi berbeda yang harus dipelajari dengan seksama sebelumnya.
kartu trap (trap card)

kartu monster (monster card)

kartu magic (magic card)

Kartu monster merupakan kartu yang berperan sangat vital dalam permainan karena memiliki fungsi  untuk melakukan serangan dan mengambil poin lawan. Kartu magic berfungsi sebagai penambah kekuatan monster dan kartu trap berguna untuk membuat jebakan pada lawan.

Sementara istilah yang wajib diketahui adalah:
Draw phase (mengambil kartu dari deck)
Standby phase (posisi diam, berjaga)
Main phase1 (pemain dapat memanggil monster atau menaruh kartu magic dan trap)
Main phase 2 (pemain tidak boleh memanggil  monster lagi jika sudah memanggil di main phase 1)
End phase (menyatakan pergantian giliran untuk memainkan kartu)

Pemenang ditentukan oleh jumlah Life Point (LP). Jumlah LP pemain akan berkurang tergantung serangan monster lawan, dan efek dari kartu lawan. Pemain dinyatakan kalah jika nilai LPnya nol atau saat tidak bisa lagi mengambil kartu di deck. Dua kondisi ini menjadi indicator kemenangan dalam permainan yugioh.





Sumber:

Tabloid Halo Jepang! Juni 2017

Friday, September 15, 2017

Aikido



Aikido adalah seni beladiri yang bersifat defensif (bertahan), tidak mengutamakan kekuatan otot tapi kelenturan dan kecepatan gerak. Secara harfiah, aikido berasal dari kata “Ai” artinya penyelarasan, integrasi atau harmoni. Kata “Ki” artinya pusat energi hidup atau spirit. Dan kata “Do” artinya jalan. Sehingga aikido bias diterjemahkan sebagai jalan untuk membentuk kesatuan harmoni antara fisik, rohani, dan pikiran.

Dalam aikido juga mengenal istilah naik tingkat seperti karate, judo  atau seni beladiri lainnya. Tingkat tertinggi dalam International Aikido Federation (IAF) saat ini adalah Dan 9. Namun ada beberapa ahli aikido dengan tingkatan Dan 10 karena diberikan oleh ahlinya langsung, Ueshiba Morihei, sebelum dia wafat.


Ueshiba Morihei

Tingkatan dalam aikido terdiri dari dua bagian yaitu:
1.  Kyu (mudansha I yukyusha)
Tingkat Kyu 5 sampa Kyu 4 menggunakan sabuk putih, dan Kyu 3 sampai Kyu 1 menggunakan sabuk cokelat

2. Dan (yudansha)
Dan 1 sampai Dan 10 menggunakan sabuk hitam.


Teknik-teknik aikido sebagai seni beladiri perkelahian cepat jarak pendek banyak dipengaruhi oleh teknik bantingan judo, kodokan jigoro kano, teknik kuncian jujutsu gaya sokaku takeda , teknik pedang (kenjutsu) dan teknik toya berpedang (yarijutsu). Pada umumnya, aikido tidak menggunakan tendangan kaki, namun dalam dalam hal-hal khusus teknik kaki (ashiwaza) juga diajarkan.
Seni beladiri ini memiliki empat pola dasar latihan yaitu :
·         Tachiwaza (teknik berdiri melawan berdiri)
·         Suwariwaza (teknik duduk melawan duduk)
·         Hanni handachi (teknik duduk melawan berdiri)
·         Kaeshi waza (teknik dengan membuka serangan terlebih dahulu)

Dalam aikido juga memiliki teknik naga waze (melempar atau membanting) dan teknik katame waza (kuncian)


Sejarah
Aikido pertama kali diperkenalkan secara luas oleh Ueshiba Morihei (1883-1969) yang oleh para praktisi aikido dijuluki sebagai “O sensei”. Menurut catatan laman institutaikidoindonesia.com, dia mengembangkan aikido berdasarkan seni beladiri lain yang dipelajarinya saat masih muda. Dia mempelari Kito Ryu Jujutsu, ilmu pedang Yagyu Ryu, Aioi Ryu Hozoin Ryu, jujutsu, spear fighting, judo, kendo dan seni beladiri yang menggunakan bayonet. Menguasai banyak seni beladiri membuatnya disegani di Jepang.

Akhirnya Ueshiba Morihei paham bahwa seni beladiri bukan untuk mengalahkan lawan dan merusak, namun harus selaras dengan ‘Ki’ energi  dan alam semesta. Dia pun menyimpulkan bahwa aikido bukanlah teknik untuk berkelahi atau mengalahkan lawan, melainkan untuk membuat dunia ini damai dan seluruh manusia di bumi menjadi satu keluarga.

Dengan bakat yang begitu besar, Ueshiba berhasil  menyebarkan muridnya ke seluruh dunia untuk memperkenalkan keindahan ilmu aikido. Saat ini seni beladiri tradisional ini telah berkembang sekurang-kurangnya ke 93 negara di Asia, Eropa, Amerika, Australia, dan sebagian Afrika.

Sementara di Indonesia, aikido mulai dikenal pada tahun 1960-an yang konon dibawa oleh para pelajar Indonesia yang menuntut ilmu di Jepang. Perkembangan aikido dan seni beladiri impor lainnya dari Jepang di sini sebetulnya kurang lebih sama. Namun kempo, karate, jujutsu dan judo lebih dulu popular disbanding aikido. Faktanya, aikido mulai berkembang di tanah air sejak tahun 1990-an.

Secara istilah ‘Aikido Indonesia’ pertama kali digunakan oleh Perguruan Aikido Indonesia di bawah naungan Yayasan Keluarga Beladiri Indonesia (KBAI). Yayasan ini terbentuk pada 1994. Seiring berjalannya aikido di Tanah Air, maka terbentuklah Institut Aikido Indonesia (IAI) pada 2004 untuk turut mengembangkan aikido di negeri ini.




Sumber:

Halo Japan! Edisi Mei 2017

Shamisen

Di Negeri Sakura, shamisen kerap digunakan sebagai san-gen terutama saat digunakan untuk mendukung musik di era yang lebih modern.

Khusus di Okinawa, pulau paling selatan Jepang, bentuk instrument ini sedikit berbeda dan dikenal sebagai shasin. Baik shamisen maupun shasin umunya tak terlalu diminati anak muda Jepang karena dianggap kurang keren dan kurang modern.

Menurut promusica.or.jp, shamisen digolongkan dalam ‘keluarga lute’, karena memiliki leher panjang, tiga dawai (senar) dan tingkat ketebalan dawai yang berbeda. Dawai paling tipis akan menghasilkan bunyi paling tinggi. Sebaliknya, dawai paling tebal akan menghsilkan bunyi paling rendah.

Shamisen mempunyai bentuk yang menyerupai gitar, hanya saja badan shamisen berbentuk segi empat, bukan bulat seper gitar. Bagian badan dalamnya disebut do. Shamisen terbuat dari kayu, yang bagian depan dan belakang badannya dilapisi kulit hewan. Biasanya yang sering dipakai adalah kulit anjing.

bagian-bagian shamisen


Di Jepang ada beragam jenis shamisen. Setiap shamisen memiliki ukuran leher dan tubuh yang berbeda. Ada shamisen yang memiliki leher tipis (hosozao shamisen) disebut juga nagauta shamisen. Ada shamisen yang berleher tebal (futozao shamisen) disebut juga Tsugaru shamisen karena kerap dimainkan di wilayah Tsugaru. Bentuk leher beragam ini juga membedakan nada yang dihasilkan. Sementara yang berleher sedang  (chuzao shamisen) kadang dirujuk sebagai jiuta shamisen.

hosozao shamisen

futozao shamisen

chuzao shamisen





Perkembangannya

alat musik koto

Dilihat dari sejarahnya, alat musik yang kerap disamakan dengan koto –instrumen petik khas Jepang yang lain- ini sejak dulu dikenal sebagai alat musik yang merakyat. Berbeda dengan koto yang awalnya hanya boleh dimainkan di kalangan istana.

Shamisen diperkenalkan sekitar tahun 1652 di Pelabuhan Sakai, dekat Osaka. Sebelumya dikenal sebagai sanxian di Tiongkok. Alat musik ini sampai ke kerajaan Rukyu melalui hubungan perdagangan dengan kerajaan Fuzhou.

geisha memainkan shamisen

Shamisen tertua yang hingga kini masih ada merupakan hasil perajin Kyoto yang dinakaman yudo. Shamisen ini dibuat khusus atas perintah Hideyomi Toyotomi (pemimpin Jepang di zaman Sengoku) untuk dihadiahkan kepada sang istri. Bentuk yodo tidak jauh berbeda dengan shamisen yang ada sekarang ini. Perkembangan shamisen di negeri dengan banyak prefektur ini juga tak lepas dari salah satu pemusik tunanetra bernama Ishimura Kengyo. Ia berjasa membantu mengembangkan teknik permainan shamisen hingga digemari rakyat banyak. Di awal zaman Edo (1603-1867), Ishimura memelopori genre music dengan jiuta shamisen. Shamisen juga turut diperkenalkan oleh para geisha di zamannya. Mereka wajib memainkan alat musik ini untuk menghibur tamu. Hingga kini shamisen kerap dipertontonkan dalam berbagai festival budaya, konser musik, pentas tari dan teater serta pertunjukan tradisional lain di Jepang.


Sumber:

Tabloid Halo Jepang! Edisi Agustus 2017

Thursday, September 7, 2017

Kochi University of Technology


Kochi University of Technology (KUT) berdiri pada 1 April 1997 sebagai universitas swasta. Dua tahun kemudian statusnya berubah menjadi universitas publik dengan dukungan dana dari pemerintah Prefektur Kochi. Perubahan status ini membuat KUT berkembang pesat. Berpengalaman sebagai universitas swasta membuat KUT inovatif dan independen, termasuk pengelolaan finansialnya.

Perubahan status ini dibarengi pula dengan reorganisasi sehingga KUT memiliki lima departemen untuk jenjang sarjana yaitu School of System Engineering, School of Environmental Science and Engineering , School of Information, School of Economic & Management dan School of Management. Perubahan terjadi pada fakultas teknik yang dipecah menjadi tiga sekolah yakni School of System Engineering, School of Environmental Science and Engineering, serta school of Information. KUT juga memiliki sekolah untuk magister dan doktoral.


Kreatif
Untuk menjadi universitas berkelas dunia,  kampus tersebut meluncurkan KUT Advanced Program sejak April 2014. Program itu untuk mengembangkan mahasiswa di tingkat sarjana agar menjadi pelopor globlal melalui program unik. Kampus tidak memiliki program wajib karena menghargai otonomi mahasiswa. Sistem pendidikan yang diterapkan KUT ini terbilang progresif dan merupakan hal baru di kalangan kampus Jepang. Mereka tidak terikat pada kurikulum konvensional.

Fasilitas yang dimilki KUT sangat mendukung dalam proses belajar mengajar. Kampus KUT ada dua yaitu di Kami dan Eikokuji (di tengah kota Kochi). Kampus Kami tempat belajar mengajar untuk jurusan School of System Engineering , School of Environmental Science and Engineering, dan School of Information. Sedangkan kampus Eikokuji tempat belajar jurusan School of Economics & Management.

Kedua kampus memiliki fasilitas sama lengkapnya seperti perpustakaan, gimnasium, kantin dan laboratorium. Untuk layanan kesehatan, setiap tahun diselenggarakan test kesehatan (general check up) untuk seluruh mahasiswanya. Dengan fasilitas lengkap, kampus yang memiliki moto ‘a university where a person can grow’ (bukan ‘a university to develop people’) ini yakin bias melahirkan sarjana yang pintar sekaligus mampu memecahkan masalah di sekitarnya.

Masalah sosial
Prefektur Kochi memiliki dua masalah sosial yaitu menurunnya jumlah penduduk dan kelesuan ekonomi. KUT diharapkan mampu membantu pemerintah mengatasi masalah tersebut karena dua bidang yang digeluti KUT,  teknologi serta ekonomi & manajemen bersifat praktis. Sekolah Tinggi Ekonomi & Manajemen milik KUT di Eikokuji akan mendukung pengembangan di bidangn  ekonomi, kewirausahaan dan manajemen.  Keunggulan pendidikan, penelitian, dan kontribusi sosial menuntut hal baru dan orisinal serta kemampuan menginformasikan hal baru, sehingga menjadikan KUT tempat yang tepat untuk mengembangkan bakat dan potensi mahasiswa dalam menghadapi tantangan global.

Karena KUT berlokasi di Prefektur Kochi, biaya hidup pun lebih murah jika dibandingkan dengan Tokyo atau Kyoto. Untuk menyewa tempat tinggal, biaya yang dibutuhkan per bulannya sekitar 27.500 yen (kampus Kami) dan 40.000 yen (kampus Eikokuji). Biaya makan kira-kira 45.000 yen, transportasi dan komunikasi 20.000 yen serta biaya lain-lain25.000 yen. Dengan beasiswa per bulan 155.000 yen, mahasiswa KUT masih bisa hidup secara layak.








Sumber

Tabloid Halo Jepang! Edisi Mei 2017

Wednesday, August 30, 2017

Nagoya Institute of Technology (NiTech)





Sebagai kampus teknik pertama di Jepang Tengah, Nagoya Institute of Technology atau NiTech terus mengembangkan ilmu dan teknologi tanpa melupakan tradisi. Kesungguhan dalam memadukan kemajuan teknologi dan tradisi ini menjadi salah satu daya tarik kampus tersebut.
Nama resmi kampus ini sejak 1 April 2014 adalah Nagoya University Corporation Nagoya Institute of Technology. Sejarah berdirinya NiTech dimulai pada 1905 saat berdiri Nagoya Higher Technical School. Pada 1944, sekolah tersebut ditingkatkan statusnya menjadi Nagoya College of Technology. Lima tahun kemudian, di bawah sistem pendidikan baru, kampus ini bergabung dengan Aichi Prefectural College of Technology menjadi Nagoya Institute of Technology. Inilah kampus teknik pertama di Jepang Tengah.

Pendirian kampus teknik di Nagoya dimaksudkan untuk mengembangkan industry di kawasan tersebut. Nagoya adalah daerah terbesar ketiga di Jepang di mana industrinya berkembang pesat. Industri otomotif yang yang berbasis di Nagoya adalha Toyota, Denso, kantor pusat Mitsubishi, pabrik busi NGK dan Nippon Sharyo. Bahkan, pabrik kereta api cepat Shinkansen juga berada di sini. Selain industry otomotif, berkembang pula industry penerbangan, keramik, robot, ritel sampai kerajinan tangan.

Menghadapi pesatnya kemajuan sains dan teknologi di wilayah ini, presiden NiTech Ukai Hiroyuki melalui situs resmi kampus menegaskan, NiTech akan memulai peran baru di tingkat global yang tetap berlandaskan tradisi. Setidaknya, ada tiga langkah. Pertama, pendidikan harus mampu melahirkan ahli teknik yang mumpuni tetapi tetap mengerti sejarah, budaya, dan tradisi. Mereka harus bisa melahirkan masyarakat baru dengan perspektif global. Untuk menciptakan hal itu, pada April 2016, NiTech membuat departemen baru yakni Creative Engineering Program.

Kedua, menjadikan NiTech sebagai pusat penelitian rekayasa teknologi  yang berkontribusi terhadap kedamaian dan kesejahteraan. Untuk mencapai tujuan itu, NiTech membangun pusat penelitian baru, Frontier Research Institute for Materials Science dan Frontier Research Institute for Information Science yang diharapkan bias menjadi pusat penelitian internasional.

Langkah ketiga adalah menciptakan kampus di mana orang-orang dari latar belakang budaya berbeda bekerja dalam sebuah harmoni. Untuk itu, NiTech senantiasa menghadirkan mahasiswa dan staf pengajar asing melalui berbagai program seperti pertukaran mahasiswa dan penelitian bersama.


Bahasa
Ambisi NiTech untuk menjadi kampus bertaraf internasional sudah dirintis. Mereka mulai bermitra dengan kampus asing sejak 2007. Pada 2007 Nitech hanya memiliki kerja sama dengan 22 negara dan 43 universitas atau fakultas. Jumlah itu terus meningkat. Pada 2016 sudah ada perjanjian kerja sama dengan 28 negara dan 72 perjanjian dengan universtas dan fakultas. Pada 1 Juni 2017, perjajanjian kerja sama sudah bertambah menjadi 58 kerja sama antar universitas, 20 perjajian tingkat fakultas /departemen dari 31 negara.

Negara mitra NiTech tersebar di Asia, Oseania, Eropa, Amerika Utara serta Amerika Selatan. Kerja sama terbanyak dilakukan dengan kampus di Asia, yakni 41 perjanjian. Kerja sama dengan kampus di Eropa tercatat 25 perjanjian. Sementara dengan kampus di Amerika Utara hanya tiga perjanjian, dan kampus di Amerika Selatan hanya dua kerja sama. Mitra NiTech di Oseania hanya satu kampus. 

Lembaga pendidikan di Indonesia yang bermitra dengan NiTech adalah Universitas Udayana, Bali.
Karena mayoritas kerja sama dilakukan dengan kampus di Asia, jumlah mahasiswa asing asal Asia sangat dominan. Pada 2016, tercatat 269 mahasiswa asal Asia, sementara jumlah mahasiswa asing asal Afrika berjumlah 10 orang, Amerika Latin 5 orang , Eropa 7 orang, dan tak ada mahasiswa asal Oseania. Dalam sepuluh tahun terakhir, hanya satu mahasiswa Oseania yang belajar di NiTech (2014). Total mahasiswa asing di NiTech pada 2016 berjumlah 291 orang.



Sumber:
Tabloid Halo Jepang! Edisi Agustus 2017





                                                                                                                               

Tuesday, June 13, 2017

Okayama University (Universitas Okayama)

Okayama University kampus Tsushima



Okayama Univesity (Okayama Daigaku) adalah salah satu kampus ternama di Jepang yang sudah mencetak lebih dari 12.000 dokter. Cikal bakal universitas di Prefektur Okayama ini adalah bidang medis sehingga masuk akal jika Fakultas Kedokteran menjadi primadona.

Sebelum menjadi universitas, kampus ini hanyalah tempat pelatihan bernama Medical Training Place (1870) yang kemudian berubah menjadi Okayama Prefectural Medical School (1880). Seiring dengan perubahan zaman, sekolah inipun terus berganti nama sampai pada 1922 menadi Okayama Medical College (Okayama Ika Daigaku).


Rumah sakit Okayama University yang ada di Misasa

Setelah perang dunia II, tepatnya setelah 1949, Okayama Medical College dan 4 sekolah lain di Okayama, termasuk Okayama Agricultural College dilebur menjadi Okayama University. Kampus baru yang terletak di Tsushima adalah bekas markas tentara kekaisaran Jepang yang meninggalkan tempat ini pada 1947. Saat berdiri, Okayama University hanya memiliki 5 fakultas yakni Fakultas Hukum, Fakultas Pendidikan, Fakultas Science, Fakultas Pertanian, dan Fakultas Kedokteran. Kini Okayama memiliki 11 fakultas, 7 sekolah pasca sarjana, serta pusat penelitian.


Fakultas sains Okayama University

"Okayama adalah satu sekolah kedokteran tertua di Jepang. Rumah sakit di kampus ini menduduki peringkat kelima di Jepang berdasarkan jumlah operasi per tahun  yang dilakukan di Okayama University Hospital. Semua tipe transplantasi organ dapat dilakukan di rumah sakit tersebut, diantaranya sudah ada 102 kasus operasi transplantasi paru-paru. Transplantasi paru-paru di Okayama University Hospital menempati peringkat pertama di Jepang. Sedangkan transplantasi hati menempati urutsn kedua.

Jurusan kedokteran juga banyak menghasilkan jurnal, termasuk jurnal internasional yang berkaitan dengan penelitian medis. Beberapa di antaranya mendapatkan hadiah nobel atas penemuan itu. Banyak mahasiswa asing dari berbagai negara menimba ilmu di  di Fakultas Kedokteran ini.


Iklim Bersahabat
Okayama University terletak di Kota Okayama, Prefektur Okayama. Kampusnya tersebar di 6 lokasi yakni Tsushima, Shikata, Higashiyama, Hrai, Kurashiki, serta Misasa. Akses ke pusat kota sangat mudah . Iklimnya menyenagkan dengan suhu bersahabat, dikenal sebagai 'fine weather country Okayama'. Memiliki iklim yang hangat dan jarang terjadi bencana alam. Suhu di kota ini berkisar -1C sampai 31C dan jarang di bawah -4C atau di atas 34C.  Area kampus dikelilingi oleh tanaman sehingga tenag dan nyaman, jauh dari kebisingan kota. Sangat mendukung untuk proses belajar megajar. Fasilitas juga lengkap mulai dari jaringan internet yang super cepat, kantin, toko kampus sampai perpustakaan. Di kampus Tsushima dan Shikata, ada kantin yang menyediakan makanan halal untuk mahasiswa muslim. Tersedia juga asrama untuk mahasiswa asing. Selain itu, di sekitar kampus terdapat masjid untuk melakukan berbagai aktifitas keagamaan bagi kaum muslim di kota Okayama.
Masjid Okayama


Kunjungan ke Okayama 
Jumlah mahasiswa yang belajar di Okayama University tidak banyak, hanya sekitar 18 orang. Mayoritas mengambil jurusah kedokteran, hampir separuhnya. Minimnya jumlah mahasiswa Indonesia yang belajar di kampus ini karena belum ada kerja sama formal antara Okayama University dengan universitas-universitas di Indonesia. Kendati demikian sudah ada kerja sama antara jurusan di Okayama University dengan berbagai universitas di Indonesia.

Untuk kerja sama seperti pertukaran mahasiswa ataupun beasiswa khusus belum ada, tetapi program kunjungan ke Okayama University yang diselenggarakan oleh beberapa universitas di Indonesia. Dari kunjungan tersebut diharapkan banyak mahasiswa Indonesia yang mengenal kampus ini kemudian berminat menimba ilmu di Okayama.

Selain lingkungan yang nyaman dan fasilitas yang lengkap, biaya hidup di Okayama juga tak semahal hidup di kota metropolitan di Jepang. Memang biaya hidup mahasiswa tergantung pada gaya hidupnya.





Sumber:
Tabloid Halo Jepang! edisi Juli 2015

















Monday, April 17, 2017

DONGENG JEPANG: Burung Nuri Yang Lidahnya Putus





Dahulu kala di Jepang, tinggalah seorang pak tua dan istrinya. Si pak tua adalah seorang pria tua yang baik, berbudi, dan pekerja keras. Tetapi istrinya perempuan yang sangat cerewet, yang bisanya merusak kehangatan rumahnya sendiri lewat kata-katanya yang kasar. Dia selalu marah-marah dari pagi sampai malam hari. Pak tua itu sudah sejakn lama tak lagi peduli segala kebawelan istrinya. Pak tua menghabiskan waktu siang harinya bekerja di ladang, dan karena dia tak memiliki anak, maka sebagai hiburannya saat dia pulang ke rumah, dipeliharanya seekor burung nuri. Pak tua begitu menyayangi si burung kecil  seolah-olah itu anaknya sendiri.




Saat pak tua pulang di malam hari setelah seharian bekerja keras di udara terbuka, hiburan satu-satunya adalah memanjakan si burung nuri kecil, mengajaknya bisara dan mengajarinya beberapa trik, yang bisa dimengerti cepatsekali oleh si burung kecil. Pak tua akan membuka sangkarnya dan membiarkan si burung mungil terbang di dalam kamar, dan mereka berdua akan bermain-main bersama. Lalu ketika saat makan malam tiba, pak tua akan menyisihkan remah-remah dari makanannya untuk makanan burung kecil kepunyaannya itu.

Di suatu hari, pak tua tengah pergi memotong kayu di hutan, dan istrinya mampir di rumah untuk mencuci baju. Sehari sebelumnya, dia telah membuat tepung kanji, dan ketika dia tengah mencarinya, tepung kanji itu semuanya sudah tak ada lagi, dan lesung yang sudah diisinya penuh kemarin sekarang kosong.

Waktu dia tengah menduga-duga siapa gerangan yang telah mengambil atau mencuri tepung kanjinya, terbanglah mendekat si burung nuri, dan sambil merunduk membungkukkan kepala mengilnya yang berbulu, trik yang diajarkan tuannya, si burung molek itu mencicit sambil berkata:

"Akulah yang mengambil tepung kanji itu. Kukira itu makanan yang disediakan untukku di mangkuk itu, lalu kumakan habis semuanya. Kalau aku berbuat salah, ampuni aku! Cit...cit...cit...!"




Bisa dilihat kalau burung itu adalah burung yang jujur, dan seharusnya istri pak tua bersedia memaafkannya ketika si burung sudah minta maaf dengan sopannya. Tetapi tidak demikian yang terjadi.

Istri pak tua tak pernah menyayangi si burung nuri, malah sering bertengkar dengan suaminya karena memelihara piaraan yang disebutna burung yang mengotori seluruh rumah, sambil berkata kalau pekerjaannya bertambah dengan kehadiran si burung. Sekarang dia merasa senang karena kini punya alasan menentang kehadiran burung peliharaan suaminya itu. Dibentak-bentaknya burung kecil itu bahkan dicetuskannya sumpah serapah atas kelakuan buruk si burung,  dan masih tak puas berkata-kata kasar, kata-katayang menyakitkan hati, karena dirasuki murka dicekiknya si burung nuri itu, yang selama dibentak-bentak telah merentangkan sayapnya membungkuk hormat di hadapan istri pak itu, untuk menunjukkan betapa menyesalnya dirinya, lal mengambil guning dan memotong lidah si burung kecil yang malang itu.

"Pasti kau mengambil tepungku memakai lidah itu, kan? Nah sekarang rasakan hidup tanpa lidah itulagi!" Dan sambil mencaci kasar seperti itu, diusirnya si burung pergi, tak peduli sama sekali apa yang akan menimpa si burung kecil, dan tanpa merasa kasihan sama sekali atas penderitaan yang dialami si burung kecil. Begitu kejamnya dia!

Istri pak tua setelah mengusir pergi si burung nuri, membuat lagi adonan tepung kanji, menggerutu tak henti-hentinya memikirkan kerepotannya, lalu setelah selesai mengkanji semua bajunya, menggelarnya di atas papan untuk mengeringkan baju-baju itu di bawah sinar natahari, tak menyetrikannya seperti yang biasa dilakukan di Inggris.

Malam harinya pak tua itu pun pulang ke rumahnya. Seperti biasa, dalam perjalanan pulang dinanti-nantinya saat-saat ketika dia hampir sampai ke gerbang rumahnya, di mana dia akan melihat burung piaraannya itu terbang dan mencicit menyambunya, mengepak-ngepakkan bulu-bulunya dengan riang, lalu akhirnya bertengger di bahunya. Tapi malam ini pak tua merasa sangat kecewa, karena bahkan bayangan si burung nuri kesayangannya itu tak kelihatan sama sekali.

Dia pun mempercepat langkahnya, tergesa-gesa melepas sandal jeraminya, dan menaiki beranda. Tetapi masih tak dilihatnya  si burung nuri itu. Dia kini merasa yakin kalau istrinya, karena tabiatnya yang pemarah itu pasti telah menembak burung nuri itu di kandangnya. Lalu dipanggil istrinya itu, dan berkata dengan tak sabaran:

"Di mana Suzume San (Nona Nuri) hari ini?'

Istrinya itu mula-mula berpura-pura tidak tahu, lalu dijawabnya:

"Burung nuri kepunyaanmu itu? Sudappasti aku tak tahu. Sekarang aku malah berpikir, karena tak kulihat dia sepanjang siang tadi, tak heran kalau burung yang tahu terima kasih itu pasti sudah terbang dan meninggalkanmu setelah kau manjakan selama ini?"

Tetapi akhirnya, karena pak tua terus menerus mendesaknya, merasa yakin kalau dia pasti tahu apa yang terjadi dengan hewan piaraannya itu, istrinya pun akhirnya mengakui semuanya. Dia marah-marah menceritakan kalau si nuri telah memakan habis adonan tepung kanji yang sudah dibuatnya khusus untuk mengkanji bajunya, dan ketika si burung nuri mengakui apa yang sudah diperbuatnya, karena sangat geram diambilnya gunting dan dipotongnya lidah si burung nuri, dan diusirnya pergi si burung nuri itu dan melarangnya untuk kembali ke rumah itu lagi.

Lalu istri pak tua menunjukkan pada suaminya potongan lidah si burung nuri sambil berkata:

"Ini lidah yang kupotong! Burung usil, kenapa dimakannya sampai habis kanjiku?"

"Kenapa kau begitu kejam? Ya ampun! Kau ini kejam sekali!" hanya itu yang bisa diucapkan pak tua berulang-ulang. Hatinya begitu baik untuk bisa menghukum istrinya, tapi dia juga merasa sedih sekali atas apa yang telah dialami burung nurinya iu.

"Malang sekali Suzume San-ku harus kehilangan lidahnya!" katanya pada dirinya sendiri. "Dia tak akan bisa lagi mencicit, dan pasti rasa sakit akibat lidahnya harus putus seperti itu membuatnya menderita! Apa tak ada yang bisa kulakukan?"

Pak tua masih menangis terus bahkan setelah istrinya yang cerewet itu tertidur.

Ketika diusap air matanya dengan baju katunnya,didapatnya ide cemerlang yang membuatnya sedikit tenang. Dia akan pergi mencari burung nuri itu keesokan harinya. Setelah memutuskan akan melakukannya, dia pun akhirnya bisa tidur juga.

Keesokan harinya pak tua bangun pagi-pagi sekali, bahkan sebelum fajar menyingsing, lalu melahap sarapan ala kadarnya, mulai menjelajahi bukit dan melintasi hutan, berhenti si setiap rumpun bambu sambil memanggil-manggil:

"Di mana, di manakah kini berada burung nuriku yang lidahnya putus? Di mana, di manakah kini berada burung nuriku yang lidahnya putus?'



Dia tak pernah berhenti beristirahat,ataupun untuk makan siang, dan ketika itu hari sudah menjelang sore saat disadarinya dia beradadi dekat sebuah hutan bambu yang lebat. Belukar bambu menjadi tempat mampir kesukaan burung-burung nuri, dan di saat itu di tepi hutan pak tua merasa yakin melihat burung nuri kepunyaannya itu yang begitu disayanginya telah menunggu, lalu menyambunya. Dia hampir-hampir tak percaya apa yang dilihatnya kini karena begitu gembiranya, lalu berlari cepat-cepat untuk menemuinya. Si nuri menundukkan kepalanya yang mungil itu, lalu melakukan beberapa trik yang telah diajarkan masternya itu, menunjukkan betapa gembiranya dia bisa bertemu kembali dengan sahabat lamanya, dan aneh in ajaib, nuri itu bisa bicara. Pak tua mengatakan betapa sedih dirinya atas semua yang terjadi, dan menanyakan tentang lidahnya, dan keheran-heranan bagaimana nuri itu bisa berbicara begitu lancarnya tanpa lidah. Lalu si burung nuri membuka moncongnya dan memperlihatkan pada pak tua kalau sebuah lidah yang baru telah tumbuh menggantikan lidahnya yang lama, dan memohon agar pak tua tidak mengingat-ingat lagi masa lalu, karena dia dalam kondisi yang cukup sehat sekarang. Lalu pak tua itu pun akhirnya menyadari kalau burungnya itu adalah peri, bukan sembarang burung biasa. Tak bisa dilukiskan betapa bertumpuk-tumpuknya  rasa girang pak tua itu kini. Dia langsung lupa semua kesulitannya, dia bahkan lupa kalau sesungguhnya betapa lelah dirinya, karena sekarang telah ditemukan kembali burung nurinya yang hilang, yang bukannya sedang menderita karena kehilangan lidah seperti yang dikhawatirkan pak tua, tetapi ternyata burung nurinya itu dalam keadaan baik-baik saja dan sekarang sudah punya lidah yang baru, dan sama sekali tak menunjukkan pernah mengalami perlakuan yang buruk dari istrinya. Dan yang paling utama ternyata si burung adalah peri.


Si burung nuri lalu meminta pak tua untuk mengikutinya, lalu terbang di depannya dan diantarnya masternya itu sampai ke sebuah rumah yang indah di tengah-tengah hutan bambu. Pak tua itu tak bisa menyembunyikan rasa takjubnya saat dimasukinya rumah itu dan melihat tempat yang sangat indah. Rumah itu dibangun dari kayu yang paling putih, dengan hamparan permadani lembut berwarna cokelat muda dan yang paling cantik yang belum pernah dilihat sebelumnya, dan bantak yang dibawakan oleh si burung nuri itu untuk alas duduk pak tua terbuat dari sutra dan wol yang paling halus. Vas cantik dan kotak-kotak berkilat menjadi penghias tokonoma (cekungan di dinding tempat memajang barang-barang hiasan) di setiap ruangan.

Si burung nuri mengajak pak tua memasuki ruang tamu kehormatan, kemudian memempatkan diri agak jauh, dihaturkannya ucapan terima kasih dengan membungkuk berkali-kali atas semua kebaikan yang telah diberikan pada dirinya setelah bertahun-tahun lamanya.

Kemudian Nona Nuri, kita akan memanggilnya dengan nama itu mulai sekarag, memperkenalkan semua keluarganya pada pak tua. Setelah perkenalan itu, anak-anak perempuannya, mengenakan gaun wol yang paling anggun, membawa masuk sajian makanan yang lezat-lezat di atas nampan-nampan antik yang cantik, sampai-sampai pak tua berpikir kalau dia pasti tengah bermimpi. Di tengah-tengah jamuan makan malam, beberapa anak perempuan nona nuri menampilkan tarian yang indah sekali, yang dinamakan tarian "suzume-odori" atau tarian burung nuri, untuk menghibur tamu mereka.



Tak pernah pak tua bisa bersenag-senang seperti itu. Waktu berlalu dengan begitu cepatnyadi tempat yang elok itu, dikelilingi semua nuri-nuri itu menjamunya dan menghibur serta juga menari di hadapannya.

Tetapi malampun menjelang dan hari yang mulai gelap itu mengingatkan pak tua kalau perjalanan pulang yang harus ditempuhnya sangatlah jauh, jadi dia berpikir harus pamit sekarang, lalu segera pulang. Diucapkannya terima kasih pada sang tuan ruamah yang baik itu atas hiburan yang disuguhkan, dan memohon demi dirinya, agar si burung nuri mau melupakan semua penderitaan yang dialaminya atas perlakuan istrinya yang kejam itu. Dikatakan pada Nona Nuri bahwa dia merasa sangat lega dan senang Nona Nuri beradadi rumah yang begitu cantik, dan mengetahui kalau Nona Nuri tak menuntut apapun. Pak tua selama ini begitu cemas ingin mengetahui bagaimana nasib burung nuri miliknya itu, dan mencari tahu apa yang benar-benar telah terjadi pada dirinya dan yang selama ini telah menuntunnya untuk mencarinya. Sekarang setelah tahu kalau semuanya baik-baik saja, pak tua bisa pulang ke rumahnya dengan hati gembira. Jika suatu saat kelak sang peri membutuhkan bantuan apapun dari pak tua, Nona Nuri hanya perlu memanggilnya saja, maka pak tua akan segera datang.

Nona Nuri memohon agar pak tua tetap tinggal dan beristirahat untuk beberapa hari serta menikmati perubahan suasana di rumahnya, tetapi pak tua mengatakan kalau dia harus pulang ke istrinya - yang mungkin akan marah-marah karena dia tak pulang tepat pada waktunya - dan juga kembali ke pekerjaannya, sehingga walaupun pak tua sangat ingin untuk tetap tinggal di situ, dia tak bisa menerima undangan tulus sang peri. Tetapi sekarang setelah dia tahu di mana Nona Nuri tinggal, dan dia akan datang menemuinya kapanpun dia ada waktu.

Ketika Nona Nuri menyadari kalau dia tak bisa membujuk pak tua agar mau tinggal lebih lama, dipanggil beberapa pelayannya, dan saat itu juga mereka membawa masuk dua kotak, salah satunya berukuran besar dan yang satunya lagi kecil. Kedua kotak itu diletakkan di hadapan pak tua, lalu Nona Nuri memintanya untuk memilih yang manapun yang disukainya sebagai hadiah, yang ingin diberikan kepada pak tua.

Pak tua tak bisa menolak tawaran yang tulus itu, lalu memilih kotak yang kecil, sambil berkata:

"Hamba sudah terlalu tua dan lemah untuk membawa kotak yang yang besar dan berat itu. Seperti yang tuanku peri katakan kalau hamba boleh memilih manapun yang hamba suka, maka akan hamba pilih kotak yang kecil, karena dengan demikian akan lebih mudah bagi hamba untuk membawanya.

Kemudian semua burung nuri itu membantu mengangkat kotak itu ke atas punggung pak tua, dan mengantarnya sampai ke gerbang untuk berpisah, sambil membungkuk hormat berkali-kali mengucapkan selamat tinggal dan mengundang pak tua lagi kapanpun dia ada waktu. Demikianlah, pak tua dan burung nuri peliharannya itu berpisah dalam keadaan hati yang bahagia, dan si burung nuri tak menampakkan demdam sama sekali atas perlakuan buruk yang harus dideritanya dari istri pak tua itu. Sebaliknya, dia merasa sedih memikirkan pak tua yang harus menghadapi kebawelan istrinya itu seumur hidupnya.

Ketika pak tua sampai di rumahnya, didapatinya istrinya itu bahkan jadi lebih cerewet dari sebelum-sebelumnya, karena saat itu sudah larut malam dan karena dia sudah menanti suaminya sejak tadi-tadi.


"Kau ke mana saja dari tadi?" tanyanya dengan suara keras, "kenapa kau pulang begitu larut?"

Pak tua berusaha menenagkan hati istrinya dengan menunjukkan kotak hadiah yang dibawanya pulang, lau diceritakan semua peristiwayang dialaminya, dan bagaimana dia dijamu dengan megahnya di rumah si burung nuri miliknya itu.

"Sekarang kita sama-sama lihat apa isi kotak in," kata pak tua sebelum istrinya menggerutu lebih panjang lagi, "kau harus membantuku membukanya," lalu keduanya duduk di hadapan kotak itu dan membukanya.

Dengan takjub mereka melihat kotak itu sampai ke pinggir-pinggirnya penuh berisi koin-koin perak dan emas, dan bayak lagi benda-benda berharga lainnya. Alas duduk pondok mereka menjadi berkilauan saat mereka keluarkan benda-benda itu satu per satu, lalu meletakkannya, menggenggamnya berganti-gantian. Pak tua sangat girang melihat semua harta yang semuanya kini adalah miliknya. Pemberian si burung nuri itu bahkan di luar angan-angannya yang paling liar sekalipun, yang kini membuatnya tak lagi harus bekerja keras dan hidup dengan tenang dan nyaman selama sisa hidupnya.

Dia berkata berulang-ulang,"Terima kasih burung nuri kecilku! Terima kasih burung nuri kecilku yang baik hati!"



Tetapi istrinya, begitu hilang takjubnya di saat pertama tadi membelalak memandangi koin-koin perak dan emas itu, tak dapat menekan rasa rakusnya yang sudah menjadi sifat jelenya itu. Dia kini malah mengomeli suaminya karena tak membawa pulang kotak yang besar berisi hadiah-hadiah, setelah karena jujurnya pak tua menceritakan pada istrinya kalau dia telah menolak untuk mengambil kotak hadiah yang berukuran besar yang ditawarkan si burung nuri padanya, tetapi lebih memilih kotak yang kecil karena ringan dan mudah dibawa pulang.

"Kau ini orang tua yang bodoh!" katanya, "mengapa tak kau mabil kotak yang besar saja?" Coba bayangkan apa yang lenyap dari genggaman kita. Kita mestinya sekarang punya emas dan perak yang pasti lebih banyak lagi dari yang ini. Kau betul-betul bodoh!" sambil berteriak , lalu pergi tidur dalam keadaan geram.

Pak tua berharap dia tadi tak mengatakan apa-apa soal kotak yang lebih besar itu, tetapi semuanya sudah terlambat. Istrinya yang rakus, tak puas dengan keberuntungsn yang tak diduga-duga itu, yang sebetulnya dirinya itu tak berhak mendapatkannya walau sedikitpun, akhirnya memutuskan, jika mungkin, untuk mendapatkan lebih dari itu semua.

Pagi-pagi sekali di keesokan harinya, istri pak tua bangun dan memaksa suaminya memberitahu arah jalan menuju rumah si burung nuri. Ketika disadari apa yang diinginkan istrinya itu, pak tua mencoba melarangnya untuk pergi, tetapi percuma saja, istrinya tak mau mendengarkan sepatah kata pun yang dikatakan suaminya. Aneh sebetulnya kalau istrinya itu tak merasa malu sedikitpun ingin mendatangi si burung nuri setelah perlakuan kejam yang dilakukannya dengan memotong lidah si burung karena murkanya. Tetapi sifat rakusnya yang ingin mendapatkan kotak yang lebih besar membuatnya melupakan hal-hal lain. Bahkan tak sedikitpun terpikir dalam benaknya kalau si burung nuri itu bisa saja marah padanya. Sesungguhnya burung-burung itu memang marah, dan mungkin bahkan menghukumnya atas apa yang telah dilakukannya itu.

Terhitung saat Nona Nuri kembali ke rumahnya dalam pelarian yang memilukan hati itu ketika mereka menemukannya, dalam keadaan terisak-isak dan mulut yang berlumuran darah, seluruh keluarga dan kerabatnya tak punya urusan penting lainnya selain hanya membicarakan kekejaman istri pak tua. "Tega sekali orang itu," mereka bertanya-tanya, "menjatuhkan hukuman seberat itu hanya karena kesalahan yang sepele seperti tak sengaja memakan tepung beras?". Mereka semua menyayangi pak tua yang begitu baik san sabar menghadapi semua kesulitannya, tetapi istrinya itulah yang mereka benci, dan mereka telah memutuskan, kalau mereka berharap mendapak kesempatan untuk menghukumnya sebagaimana yang patut didapatkan perempuan itu. Mereka ternyata tak perlu menunggu lama.

Setelah berjalan selama beberapa jam, istri pak tua akhirnya menemukan hutan bambu yang tadi sudah diminta pada suaminya untuk menunjukka letaknya, dan sekarang berdiri di depannya sambil berteriak:

"Di manakah rumah si burung nuri yang lidahnya putus? Di manakah rumah si burung nuri yang lidahnya putus?"

Akhirnya dilihatnya atap rumah muncul dari balik rimbunya dedaunan bambu. Dia bergegas menghampiri pintunya dan mengetuk dengan keras-keras.

Ketika pelayan-pelayan Nona Nuri memberitahunya kalau majikan lamanya berada di depan pintu memaksa ingin bertemu dengannya,  dia agak terkejut dengan kunjungan yang tak terduga-duga itu, setelah semua yang telah terjadi, dan dia sama sekali tak berprasangka apa-apa terhadap aksud kedatangan perempuan tua itu yang nekad mendatangi rumahnya. Namun Nona Nuri adalah burung yang santun, lalu dia pun keluar untuk menyapa istri pak tua, mengingat kalau perempuan tua itu dulu pernah jadi tuannya.



Istri pak tua berniat untuk tidak membuang-buang waktu bertutur sapa, lalu langsung dikatakan maksud kedatangannya, dan tanpa malu sama sekali dia berkata:

"Kau tak perlu repot-repot menjamuku seperti yang kau lakukan untuk suamiku. Aku datang untuk mengambil kotak yang dengan begitu bodohnya telah dibiarkannya tertinggal. Aku akan segera pergi jika kau berikan padaku kotak yang besar itu. Hanya itu yang kumau!"

Nona Nuri langsung menyetujuinya, dan meminta pelayan-pelayannya untuk membawa keluar kotak yang besar. Istri pak tua dengan bersemangat mengambilnya, lalu menggendong di punggungnya, tanpa sama sekali mengucapkan terima kasih kepada Nona Nuri, bergegas pulang ke rumah.

Kotak itu begitu beratnya sampai-sampai istri pak tua tak sanggup berjalan cepat, apa lagi berlari, walau itu yang ingin dilakukannya saat itu, tetapi malah dia harus sering-sering duduk dan beristirahat.

Ketika istri pak tua berjalan terhuyung-huyung memikul beban yang berat itu, nafsunya membuka kotak itu menjadi semakin tak bisa ditahan-tahannya lagi. Dia tak bisa menunggu lebih lama lagi, karena dia membayangkan kotak yang besar itu kali ini akan dipenuhi emas da perak dan permata-permata mahal seperti isi kotak kecil yang diterima suaminya.

Akhirnya karena dikuasai nafsu serakah dan kekikiran, istri pak tua lalu meletakkan kotak bawaannya dan membukanya hati-hati, membayangkan matanya akan terbelalak melihat limpahan harta di dalamnya. Namun apa yang dilihatnya, begitu menakutkan sampai-sampai membuatnya nyaris gila. Begitu tadi diangkatnya tutup kotak itu, segerombolan setan-setan yang wajahnya seram-seram dan menakutkan melompat ke luar dari dalam kotak dan mengelilinginya seolah-olah hendak membunuhnya. Bahkan dalam mimpi buruknya sekalipun belum pernah ia melihat makhluk-makhluk yang mengerikan seperti itu sebagaimana yang ada di dalam kotak sekarang ini. Sesosok setan dengan mata merahnya yang besar di tengah-tengah dahi mendekatinya dan memelototinya, ada juga monster-monster dengan mulut menganga tampak seolah -olah mereka ini akan melumatnya, lalu ada juga ular besar bergelung dan medesis di dekatnya, juga kodok raksasa yang melompat-lompat dan berkuak-kua mendeatinya.


Istri pak tua belum pernah merasa begitu ketakutannya, seperti sekarang ini selama hidupnya, lalu berlari tunggang langgang dari tempat itu, secepat kaki-kaki yang gemetaran itu membawanya, dan akhirnya lega karena bisa melarikan diri dalam keadaan hidup. Saat sesampainya di rumah, istri pak tua menggeletakkan diri di lantai dan menceritakan pada suaminya semua peristiwa yang dialaminya, bagaimana dia nyaris dibunuh oleh setan-setan dalam kotak itu.



Lalu istri pak tua mulai menyalahkan si burung nuri, tetapi pak tua langsung memintanya diam, sambil berkata:

"Jangan salahkan burung nuri itu. Ini semua karena kekejamanmu sendiri yang pada akhirnya mendapat ganjarannya. Aku hanya bisa berharap peristiwa ini bisa menjadi pelajaran berharga buatmu di masa depan."

Istri pak tua tak berkata apa-apa lagi, dan sejak hari itu dia menyesali kebawelannya, perilakunya yang bururk, dan perlahan-lahan menjadi orang yang baik, sehingga suaminya hampir-hampir tak mengenali sososk istrinya itu. Dan mereka berdua pun akhirnya menghabiskan hidupnya bersama dengan bahagia, selalu sejahtera dan tak pernah berkekurangan sedikitpun, menggunakan dengan bijaksana harta karun yang diterima pak tua dari burung piaraanya, si burung nuri yag lidahnya putus.








Diambil dari buku Dongeng Klasik Jepang, karya Yei Theodora Ozaki