Friday, November 13, 2009

Seorang Gadis yang Seratus Persen Sempurna

September 20, 2007

Seorang Gadis yang Seratus Persen Sempurna


Haruki Murakami


PADA suatu pagi di bulan April, di sebuah jalan sempit di sekitar Harajuku, aku berpapasan dengan seorang gadis yang seratus persen sempurna.
Sejujurnya, gadis itu tak terlalu cantik. Dia tidak luar biasa. Pakaiannya juga tak istimewa. Bagian belakang rambutnya masih tertekuk menyisakan bekas habis tidur. Dia sudah tidak terlalu muda lagi, pasti sudah mendekati tiga puluh tahun, bahkan sebetulnya tidak tepat disebut “gadis”. Namun, dari jarak empat puluh meter aku tahu: dialah gadis yang seratus persen sempurna bagiku. Begitu aku melihatnya, ada sesuatu yang bergemuruh di dadaku dan mulutku jadi terasa kering seperti gurun pasir.
Mungkin kau memiliki tipe perempuan kesukaanmu, perempuan berkaki ramping, misalnya, atau bermata lebar, atau berjari lentik, atau kau tertarik tanpa alasan yang jelas kepada para perempuan yang kalau makan lama sekali. Aku punya persyaratanku sendiri, tentu saja. Terkadang di sebuah restoran aku menyadari menatap seorang gadis yang duduk di meja sebelahku karena aku menyukai bentuk hidungnya.
Namun, tak seorang pun ngotot bahwa gadis yang seratus persen sempurna baginya berkaitan dengan tipe tertentu. Walaupun aku amat menyukai bentuk hidung tertentu, aku tidak bisa mengingat bentuk hidung gadis itu, jika hidungnya memang termasuk bentuk hidung kesukaanku. Yang bisa kuingat dengan pasti adalah dia tidak terlalu cantik. Itu aneh.
“Kemarin di jalan aku berpapasan dengan seorang gadis yang seratus persen sempurna,” kataku pada seseorang sesudah kejadian itu.
“Ya?” ujarnya, “Cantik?”
“Tidak terlalu.”
“Tipe kesukaanmu, kan?”
“Aku tidak tahu. Aku tidak bisa mengingat sesuatu tentang ia, bentuk mata atau ukuran payudara.”
“Aneh.”
“Ya. Aneh.”
Temanku menimpali dengan bosan, “Jadi, apa yang kamu lakukan? Mengobrol dengan ia? Membuntuti ia?”
“Tidak. Hanya berpapasan dengan ia di jalan. Ia berjalan dari timur ke barat, dan aku berjalan dari barat ke timur. Saat itu sungguh suatu pagi yang indah di bulan April.”
Seandainya saja aku bisa mengobrol dengan ia. Setengah jam sudah cukup lama untuk itu: bertanya tentang diri, bercerita padanya tentang diriku, dan… yang sesungguhnya ingin sekali kulakukan, menjelaskan pada ia kerumitan takdir yang membawa kami berpapasan di sebuah jalan di Harajuku pada suatu pagi yang indah di bulan April 1981. Ini adalah sesuatu yang penuh rahasia, seperti sebuah jam dinding antik yang dibuat ketika dunia dalam keadaan damai.
Setelah mengobrol, kami akan makan siang di suatu tempat, atau mungkin menonton film Woody Allen di bioskop, lalu nongkrong di sebuah bar hotel untuk minum cocktail. Bila aku beruntung, mungkin kami akan berakhir di atas ranjang.
Kemungkinan itu mengetuk pintu hatiku.
Kini jarak di antara kami menyempit menjadi sekitar lima belas meter.
Bagaimana aku bisa mendekati ia? Apa yang harus kukatakan?
“Selamat pagi. Apakah menurutmu kita bisa mengobrol setengah jam saja?”
Konyol. Aku terdengar seperti seorang penjual asuransi.
“Permisi. Apakah kamu tahu binatu yang buka sepanjang hari di sekitar tempat ini?”
Tidak. Itu juga konyol. Aku tidak membawa cucian. Siapa yang akan percaya kalimat semacam itu?
Mungkin kejujuran akan berhasil. “Selamat pagi. Kamu adalah gadis yang seratus persen sempurna untukku.”
Tidak, dia tak akan percaya. Atau mungkin dia percaya, tapi tak ingin berbicara denganku. Maaf, begitu katanya barangkali, aku mungkin saja gadis yang seratus persen sempurna bagimu, tapi kamu bukanlah pemuda yang seratus persen sempurna untukku.
Itu bisa saja terjadi. Dan jika aku mengalami hal semacam itu, aku mungkin akan hancur berkeping-keping. Aku tak akan pernah pulih dari guncangan. Usiaku kini tiga puluh dua tahun dan begitulah rasanya menjadi dewasa.
Kami berpapasan di depan sebuah toko bunga. Udara lembut menyentuh kulitku. Aspal terasa lembab dan aku menangkap aroma mawar yang meruap. Aku tak bisa memaksa diri berbicara dengan gadis itu. Dia mengenakan sweater putih dan tangan kanannya memegang selembar amplop putih yang belum ada prangkonya. Jadi, ia menulis sepucuk surat pada seseorang, mungkin sampai menghabiskan waktu semalaman untuk menulisnya, karena matanya tampak mengantuk. Amplop itu mungkin berisi segala rahasia yang ia miliki.
Aku melangkah beberapa kali dan menoleh: ia sudah lenyap dalam kerumunan.
Kini, tentu saja, aku tahu dengan tepat apa yang seharusnya kukatakan kepada ia. Mungkin terlalu panjang untuk kusampaikan dengan layak. Gagasan-gagasan yang terpikir olehku tidak pernah praktis.
Begitulah. Apa yang kukatakan itu akan diawali dengan “Pada suatu ketika” dan diakhiri dengan “Sebuah kisah yang sedih, bukan?”
Pada suatu ketika, hiduplah seorang pemuda dan seorang gadis. Pemuda itu berumur delapan belas tahun dan si gadis berumur enam belas tahun. Pemuda itu tidak terlalu ganteng dan si gadis juga tidak terlalu cantik. Mereka hanyalah seorang pemuda biasa yang kesepian dan seorang gadis biasa yang kesepian, seperti halnya orang-orang yang lain. Namun, mereka percaya sepenuh hati bahwa di suatu tempat di dunia ini hiduplah seorang pemuda yang seratus persen sempurna dan seorang gadis yang seratus persen sempurna bagi mereka. Ya, mereka percaya pada keajaiban. Dan keajaiban itu sungguh-sungguh terjadi.
Suatu hari keduanya bertemu di sudut sebuah jalan.
“Ini menakjubkan,” ujar si pemuda. “Aku telah mencarimu sepanjang hidupku. Kamu mungkin tidak percaya, tapi kamu adalah gadis yang seratus persen sempurna untukku.”
“Dan kamu,” sahut si gadis, “adalah pemuda yang seratus persen sempurna untukku, tepat seperti bayanganku hingga hal-hal paling sepele. Seperti mimpi saja.”
Mereka lalu duduk di atas bangku di sebuah taman, berpegangan tangan, dan menceritakan kisah mereka masing-masing selama berjam-jam. Mereka tak lagi kesepian. Mereka telah menemukan dan ditemukan oleh pasangan seratus persen sempurna mereka. Hal yang paling menakjubkan di dunia adalah menemukan dan ditemukan oleh pasangan seratus persen sempurna kita. Ini adalah sebuah keajaiban kosmis.
Saat mereka duduk dan bercakap-cakap, secercah kecil keraguan muncul di hati mereka: Tak anehkah mimpi-mimpi seseorang menjadi kenyataan dengan begitu mudah?
Dan begitulah, ketika tiba saat jeda dalam percakapn mereka, si pemuda berkata kepada si gadis, “Mari kita uji diri kita, sekali saja. Jika kita sungguh-sungguh pasangan seratus persen sempurna masing-masing, maka pada suatu waktu, pada suatu tempat, kita pasti akan bertemu lagi tanpa kesulitan. Ketika itu terjadi dan kita tahu bahwa kita adalah pasangan seratus persen sempurna masing-masing, kita akan menikah. Bagaimana menurutmu?”
“Ya,” jawab si gadis, “itulah yang harus kita lakukan.”
Dan mereka pun berpisah, si gadis pergi ke timur, dan si pemuda melangkah ke barat.
Ujian yang mereka sepakati sebenarnya tidak diperlukan karena mereka sungguh-sungguh kekasih sempurna seratus persen bagi yang lain dan merupakan sebuah keajaiban mereka bisa bertemu. Namun, mustahil mereka mengetahui hal ini pada usia semuda itu. Ketika mereka tersadar, kepala mereka sekosong rekening bank DH Lawrence muda.
Mereka berdua sebetulnya adalah dua orang muda yang cerdas. Melalui upaya yang terus-menerus mereka mampu mendapatkan pengetahuan dan perasaan yang membuat mereka menjadi anggota masyarakat yang berhasil. Syukur kepada Tuhan, mereka menjadi warga negara yang sungguh-sungguh bertanggung jawab yang tahu bagaimana beralih dari satu jalur kereta api ke jalur kereta api lainnya dan paham bagaimana mengirim sepucuk surat kilat khusus di kantor pos. Mereka bahkan bisa merasakan cinta lagi, terkadang bahkan cinta tujuh puluh lima hingga delapan puluh lima persen.
Waktu berlalu begitu cepat dan dengan segera si pemuda telah berumur tiga puluh dua tahun, sedangkan si gadis tiga puluh tahun.
Pada suatu pagi di bulan April, saat mencari secangkir kopi untuk mengawali hari, si pemuda berjalan dari barat ke timur, sementara si gadis yang bermaksud mengirimkan sepucuk surat kilat khusus, berjalan dari timur ke barat.
Keduanya berjalan sepanjang jalan sempit yang sama di daerah Harajuku, Tokyo. Mereka saling berpapasan di tengah jalan. Sinar pudar sisa ingatan mereka yang telah lenyap berkilau amat singkat di hati mereka. Masing-masing merasakan gemuruh di dada mereka. Dan mereka tahu:
Gadis itu seratus persen sempurna untukku.
Pemuda itu seratus persen sempurna untukku.
Namun, kilau ingatan mereka terlalu lemah dan pikiran mereka tak lagi mengandung kejelasan seperti empat belas tahun sebelumnya. Tanpa sepatah kata, mereka berpapasan, lalu lenyap dalam kerumunan. Selamanya.
Sebuah kisah yang sedih, bukan?
Ya. Itu dia. Itulah yang seharusnya kukatakan kepada gadis itu.


Catatan:
Haruki Murakami lahir di Kyoto, 1949. Ia adalah pengarang Jepang paling terkemuka saat ini. Karya-karyanya antara lain Norwegian Wood (1987) dan Kafka on the Shore yang telah diterjemahkan ke berbagai bahasa dan menjadi buku laris di mana-mana. Cerpen ini diterjemahkan dari bahasa Jepang oleh Jay Rubin, profesor sastra Jepang di Universitas Harvard, dan diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Anton Kurnia dari judul semula On Seeing 100% Perfect Girl One Beautiful April Morning dalam kumpulan cerpen The Elephant Vanishes; Vintage, London: 2003.

0 comments:

Post a Comment