Pusaka Kerajaan Besar Jepang terdiri atas tiga benda yang dianggap keramat, dan dijaga ketat dari sejak jaman dulu kala. Yang dimaksud adalah Yatano-no-Kagami atau cermin Yata, Yasakami-no-Magatama atau Permata Yasakami, dan Murakumo-no-Tsurugi atau Pedang Murakumo.
Dari ketiga pusaka milik Kaisar, pedang Murakumo, yang selanjutnya dikenal dengan sebutan Kusanagi-no-Tsurugi, atau pedang pembabat rumput, dianggap yang paling berharga dan paling dihormati, karena dianggap sebagai simbol kekuatan bangsa ini terutama kekuatan para ksatrianya serta sebagai azimat Kaisar yang tak ada tandingannya, yang dikeramatkan di kuil leluhurnya.
Hampir dua ribu tahun yang lalu, pedang itu telah disimpan di kuil Ise, kuil yang dibangun untuk menghormati Amaterasu, Dewa Matahari yang agung dan cantik, yang dianggap oleh orang Jepang sebagai leluhur para kaisar Jepang.
Ada dongeng tentang kepahlawanan dan keberanian yang menjelaskan mengapa nama pedang itu kemudian diganti dari Pedang Murakumo menjadi Pedang Kusanagi, yang artinya pedang pembabat rumput.
Di suatu saat,jaman dulu kala, lahirlah seorang anak laki-laki dari kaisar Keiko, turunan kaisar ke dua belas dari Jimmu yang agung, pendiri dinasti bangsawan Jepang. Pangeran ini adalah anak laki-laki kedua dari Kaisar Keiko,dan diberi nama Yamato. Sejak masa kanak-kanaknya, dia diketahui memiliki kekuatan yang luar biasa besarnya,juga sangat bijaksana dan gagah berani, dan sang ayah memperhatikannya dengan bangga kalau anaknya ini kelak akan melakukan hal-hal hebat dalam hidupnya, dan dia mencintai putra keduanya ini lebih dari putra sulungnya.
Saat Pangeran Yamato tumbuh dewasa (di jaman kuno dalam sejarah budaya masyarakat Jepang, seorang anak laki-laki dianggap sudah mencapai masa kedewasaan saat usianya mencapai awal enam belas tahun) dunia saat itu dikacaukan oleh ulah pemberontak dengan pimpinannya adalah dua kakak-beradik, Kumaso dan Takeru, kelompok pemberontak ini kelihatannya memang senang melawan sang raja. Mereka melanggar hukum dan menentang wewenang raja.
Pada akhirnya Raja Keiko memerintahkan anak bungsunya Pangeran Yamato untuk menangkap gerombolan perampok itu, dan jika mungkin, membersihkan negeri itu dari ulah jahat mereka. Pangeran Yamato baru berumur enam belas tahun, tetapi dia dianggap telah mencapai usia dewasa menurut undang-undang. Tetapi meskipun usianya yang masih belia itu, sang pangeran memiliki semangat keberanian yang dimiliki ksatria yang lebih dewasa, dan tak mengenal takut. Di saat itu bahkan tak ada seorang pun yang berani menandinginya atas keberaniannya, yang kemudian menerima titah ayahandanya dengan gembira.
Dia langsung bersiap-siap untuk berangkat, dan banyak orang yang berkumpul di halaman istana ketika sang pangeran dan pengikut setianya sibuk menyiapkan diri untuk ekspedisi itu. Mereka menyemir baju perang mereka dan melengkapinya. Sebelum sang pangeran meninggalkan istana ayahnya, pangeran pergi untuk berdoa di kuil Ise dan untuk berpamitan pada bibinya Putri Yamato, karena hati kecilnya menyadari betapa besar mara bahaya yang menghadangnya kelak, dan dia merasa memerlukan perlindungan dari leluhurnya, Amaterasu, Dewi Matahari. Bibinya itu keluar menyambutnya dengan gembira, dan memberikan ucapan selamat padanya karena mendapat kepercayaan melakukan misi yang begitu besar atas titah ayahandanya sang raja. Dia lalu memberikan pada sang pangeran salah satu gaunnya yang paling indah untuk dibawa serta sang pangeran, juga agar membawa nasib beruntung bagi sang pangeran, sambil berkata bahwa gaun itu akan berguna nantinya dalam perjalanannya itu. Sang putri lalu juga mendoakan keberhasilan sang pangeran atas misinya itu, lalu mengucapkan selamat berpisah.
Sang pangeran muda lalu membungkuk hormat di hadapan bibinya, dan menerima pemberian yang murah hati darinya itu dengan senang hati dan membungkuk hormat berkali-kali,
"Hamba berangkat sekarang," kata sang pangeran, lalu kembali ke istana dan memposisikan dirinya di depan pasukannya. Setelah mendapat restu dari bibinya, pangeran merasa mantap menghadapi apapun yang akan terjadi, lalu berbaris melintasi negeri dia mengarah menuju Pulau Selatan Kyusyu, markas para bandit itu.
Setelah beberapa hari berlalu akhirnya sang pangeran sampai di Pulau Selatan , lalu perlahan namun pasti mengarah menuju markas pimpinan gerombolan itu Kumaso dan Takeru. Dia kini menghadapi tantangan besar karena disadarinya daratan di sana ternyata luar biasa liar dan berat. Gunung-gunungnya tinggi-tinggi dan terjal, lembahnya gelap dan dalam, serta pohon-pohon besar dan tumpukan batuan menghalangi jalan dan menghentikan laju pasukannya. Mustahil untuk terus maju.
Meskipun sang pangeran masih belia usianya, tetapi sang pangeran memiliki kebijaksanaan yang melebihi usianya. dan ketika dilihatnya sia-sia belaka mencoba membawa pasukannya maju, maka dia berkata pada dirinya sendiri:
"Mencoba berperang di daratan yang bahkan tak bisa kulewati ini serta tak dikenal baik oleh pasukanku, hanya membuat misi ini semakin sulit. Kita tak bisa membersihkan jalan dari rintangan dan juga tak bisa bertempur. Akan lebih bijaksana kalau kugunakan saja tipu daya, dan mencoba mendekati musuhku tanpa ketahuan. Dengan cara itu aku mungkin bisa membunuh mereka tanpa perlu bersusah payah.
Oleh karena itu kemudian diperintahkan pasukannya untuk berhenti. Istrinya, Putri Ototachibana, ikut mendampinginya, lalu dimintanya istrinya itu untuk membawakan padanya gaun yang diberikan bibinya sang pendeta dari kuil Ise, dan meminta istrinya untuk membantunya berdandan menyaru sebagai perempuan. Dengan dibantu sang istri, dikenakanlah gaun itu, dan dibiarkan rambutnya tergerai sampai ke bahunya. Ototachibana lalu membawa sisir miliknya, yang kemudian diselipkannya di rambut ikal hitam suaminya itu, yang kemudian mendandani dirinya dengan untaian permata unik seperti yang bisa dilihat di gambar. Ketika sang pangeran selesai berdandan dalam tampilan yang unik itu, Ototachibana lalu membawakan cermin miliknya. Sang pangeran tersenyum puassaat dilihat pantulan bayangan dirinya di cermin. Penyamaran itu kelihatannya sempurna sekali.
Dia bahkan hampir-hampir tak mengenali dirinya sendiri, dia kini tampak begitu berbeda sekali. semua jejak sosok ksatrianya kini lenyap, dan di cermin yang mengkilat itu kini hanya tampak bayangan sosok wanita cantik yang melihat balik pada dirinya.
Setelah selesai semua persiapan menyarunya itu, pangeran lalu berangkat menuju kamp musuh sendirian. Di balik lipatan gaun suteranya, di sebelah jantungnya yang berdetak kuat itu, tersembunyi sebuah belati tajam.
Kedua pemimpn perampok yaitu Kumaso dan Takeru sedang duduk-duduk di tendanya, beristirahat menikmati sejuknya malam, ketika sang pangeran muncul. Mereka tengah membicarakan kabar yang baru-baru ini smapai ke telinga mereka, bahwa anak raja kini tengah memasuki negara mereka membawa pasukan besar bertekad memusnahkan gerombolan mereka. Mereka pun mendengar mengenai ketenaran ksatria muda itu, dan kini untuk pertama kali dalam hidupnya mereka merasa takut. Di tengah-tengah jeda pembicaraan mereka itu, mereka tak sengaja menengadah, dan saat itu mereka melihat lewat pintu tenda seorang wanita cantik memakai gaun yang mewah mendatangi mereka. Bagaikan dewi kecantikan, pangeran muncul di tengah-tengah redupnya sinar bintang-bintang. Sama sekali tak terlintas dalam benak mereka kalau itu adalah musuhnya yang datang menghampiri, yang begitu mereka takuti itu, dan yang berdiri di hadapan mereka dalam samaran wujud wanita.
"Perepuan yang cantik sekali! Dari mana datangnya?" kata Kumaso yang terkagum-kagum, lupa seketika akan perang dan segalanya saat dia memandang si penyusup yang anggun itu.
Dia memberi isyarat masuk pada sang pangeran, lalu menawarkan untuk duduk dan melayaninya dengan suguhan sake. Yamato merasakan jantungnya berdebar-debar keras saking gembiranya karena kini dia menyadari kalau rencanya akan berhasil. Tetapi dia menyembunyikan perasaannya itu, da memasang raut wajah manis dan malu-malu saat dia mendekati pimpinan pengacau itu dengan langkah pelan-pelan dan tatapan menunduk layaknya seekor rusa yang ketakutan. Terpesona serta teralihkan perhatiannya pada kecantikan sang gadis, Kumaso meminum sakenya terus menerus karena begitu gandrungnya memandangi sang gadis menuangkan sake untuknya, sampai akhirnya Kumaso menjadi cukup kewalahan karena banyaknya sake yang telah diminumnya.
Inilah saat yang tepat yang ditunggu-tunggu pangeran yang gagah berani itu. Membuang botol sake di tangannya, direnggutnya orang yang sempoyongan itu lalu mengagetkan Kumaso dan cepat-cepat menusuknya sampai mati dengan belati yang dibawanya diam-diam dibawanya tersembunyi di dadanya.
Takeru, saudara si perampok, kaget setegah mati begitu dilihatnya apa yang barusan terjadi dan mencoba melarikan diri, tetapi pangeran Yamato lebih sigap darinya. Sebelum bahkan dia sempat meraih pintu tenda, sang pangeran telah lebih dulu merenggut kakinya, baju Takeru tertahan oleh tangan kuat si pangeran, dan sabetan belati melayang di depan matanya, lalu dia pun terkulai ke tanah setelah tertusuk belati itu, sekarat tetapi belum mati.
"Tunggu dulu!" terbata-bata si perampok berusaha berbicara sambil menahan sakit, lalu dipegangnya tangan si pangeran.
Yamato melonggarkan pegangan tangan itu, lalu berkata.
"Mengapa aku harus berhenti, kau penjahat?"
Si perampok menegakkan dirinya ketakutan dan berkata:
"Katakan padaku kau ini datangnya dari mana, dan berhadapan dengan siapakah aku ini sekarang? Karena aku percaya, kakakku yang sudah mati dan aku sendiri adalah orang-orang yang paling kuat di negeri ini, dan tak ada seorang pun yang bisa mengalahkan kami. Sendirian kau telah menembus pertahanan kami, sendirian kau telah menyerang dan membunuh kami! Pasti kau ini bukan manusia biasa?"
Kemudian si pangeran muda menjawab sambil menyungging senyum bangga, "Akulah putera raja, dan namaku Yamato, dan aku dikirim oleh ayahku sebagai roh pembalas untuk membunuh semua penjahat! Sekarang tak ada lagi perampokan ataupun pembunuhan yang menteror rakyatku lagi!" lalu diangkatnya belati yang meneteskan darah itu di atas kepala sang penjahat.
"Oh....," orang yang sekarat itu masih berkata-kata lagi dengan susah payah, "Aku sudah sering mendengar cerita tentang dirimu. Kau benar-benar orang yang sangat kuat yang begitu mudahnya bisa mengalahkan kami. Ijinkan aku memberimu nama baru. Sejak saat ini kau akan dikenal dengan sebutan Yamato Take. Gelar kami yang kini kuwariskan padamu sebagai orang yang paling kuat di Yamato."
Setelah mengucapkan kata-kata tadi, Takeru jatuh dan mati.
Sang pangeran dengan demikian telah berhasil menghabisi musuh-musuh ayahnya di negerinya, dan kini bersiap-siap kembali ke ibu kota. Dalam perjalanan pulang, dia melewati provinsi Idum. Di sana dia bertemu penjahat lainnya bernama Idzumo Takeru yang diketahuinya telah banyak membuat kerusuhan di negeri itu. Sang pangeran terpaksa melakukan tipu muslihatnya lagi, dan berpura-pura berteman dengan si penjahat memakai nama palsu. Selama penyaruan itu, dia lalu membuat sebuah pedang kayu dan diikatnya kencang-kencang pada sabuk tempatnya menggantung pedangnya sendiri yang sangat kuat itu. Pedang kayu itu sengaja dibawa-bawanya, menunggu kesempatan baik saat ditemuinya Takeru si perampok ketiga.
Dia kemudian mengundang Takeru ke tepi sungai Hinokawa, dan membujuknya untuk mencoba berenang bersamanya di air sungai yang segar dan sejuk itu.
Karena saat itu hari yang terik di musim panas, si penjahat itu tak segan-segan menerima tawaran menceburkan diri ke sungai. Sementara musuhnya masih berenang menyusuri arus sungai, sang pangeran dengan cekatan berenang kembali dan sampai ke darat tergesa-gesa. Tanpa diketahui, dia berhasil menukar pedang, meletakkan pedang kayunya lalu menukar pedang besi tajam milik Takeru.
Tak mengetahui sama sekali soal pedangnya yang telah ditukar itu, si penjahat tak lama kemudian naik ke darat. Begitu dia naik ke darat dan memakai bajunya, sang pangeran mendekatinya dan memintanya berlatih main pedang bersamanya untuk mengasah keterampilannya, sambil berkata:
"Mari kita buktikan di antara kita berdua siapakah ahli pedang yang paling jago!"
Si penjahat itu menyetujui usul itu dengan senang, sudah merasa dirinya pasti menang, karena dia dikenal sebagai ahli pedang di provinsinya dan dia tak mengetahui siapa lawan yang dihadapinya itu kini. Cepat-cepat diambil pedangnya yang dikiranya adalah pedang aslinya, lalu berdir berjaga-jaga untuk mempertahankan diri. Sayangnya, pedang yang kini dipegangnya hanyalah pedang kayu milikpangeran muda dan dengan tak berdaya Takeru mencoba mencabut pedang kayu itu dari sarung pedangnya - pedang kayu itu terganjal tak bisa tercabut keluar dengan cepat, bahkan dengan segala kekuatannya dia tak bisa menggerakkannya sama sekali. Bahkan jika usahanya itu berhasil sekalipun, pedang itu sama sekali tak berguna karena terbuat dari kayu. Yamato Take menyadari kalau musuhnyakini sudah tak berdaya, lalu mengayun tinggi-tinggi pedangnya yang diambil dari Takeru tadi, lalu menurunkan pedang itu sekuat tenaganya dan memenggal putus kepala si perampok.
Dengan cara itulah kadang-kadang diguakan akalnya dan kadang-kadang kekuatan tubuhnya, dan di lain waktu mempraktekkan keahliannya, yang sangat dikagumi di jaman itu yang kalau di jaman sekarang mungkin dianggap rendah, ditaklukkannya semua musuh raja satu-persatu, dan berhasil membawa perdamaian dan ketenangan di negeri itu dan rakyatnya.
Ketika sang pangeran kembali ke ibu kota, raja memujinya atas semua sepak terjangnya yang gagah berani itu, lalu mengadakan pesta di istana sebagai penghormatan atas kembalinya sang putra dengan selamat dan menghadiahinya dengan banyak sekali hadiah-hadiah istimewa. Sejak saat itu sampai di kemudian hari, raja semakin menyayanginya lebih dari sebelumnya dan tak membiarkan Yamato Take beranjak dari sisinya, karena katanya kini putranya itu sangat berharga seolah-olah dia itu adalah salah satu dari tangan miliknya sendiri.
Tetapi pangeran tak bisa hidup diam berlama-lama. Saat sang pangeran berusia tiga puluh tahun, tersiar kabar kalau bangsa Ainu, penduduk asli kepulauan Jepang, yang dulu pernah ditaklukkan dan diusir menyingkir sampaike utara oleh orang-orang Jepang, sudah memberontak di provinsi-provinsi bagian timur, meninggalkan daerah yang diberikan untuk mereka tinggali yang kemudian menjadi penyebab timbulnya kekacauan di negeri itu. Raja memutuskan bahwa saat itu harus dikirim pasukan untuk berperang melawan mereka dan membuat mereka takluk. Tetapi siapa yang akan memimpin pasukannya?
Pangeran Yamato Take langsung menawarkan diri untuk pergi dan membuat kelompok pemberontak yang baru itu menyerah. Tetapi karena raja sangat menyayangi pangeran, dan tak sanggup melihatnya jauh dari sisinya bahkan untuk satu haripun, dia tentu saja sangat sungkan melepaskannya pergi melakukan ekspedisiyang berbahay itu. Tetapi dipasukannya, tak ada ksatria yang sekuat ataupun seberani seperti sang pangeran putranya itu. Maka Yang Mulia Kaisar, yang tak bisa berbuat lain, dengan berat hati menyetujui keinginan Yamato.
Ketika tiba saat bagi sang pangeran untuk berangkat, raja memberikan padanya sebuah tombak bernama Tombak-Panjang-Bertangan-Delapan dari Pohon Suci (gagang tombak itu mungkin dibuat dari kayu pohon suci itu), lalu mentitahkan putranya untuk segera berangkat membasmi kaum Barbar dari Timur, sebagaimana orang-iorang Ainu kemudian disebutnya saat itu.
Tombak-Panjang-Bertangan-Delapan dari Pohon Suci di kala itu, sangat dihormati oleh kalangan ksatria hampir sama seperti layaknya sebuah umbul-umbul pasukan dihormati oleh resimen tentara di jaman sekarang ini, ketika diberikan oleh raja kepada tentaranya saat-saat menjelang keberangkatan menuju medan perang.
Sang pangeran dengan penuh hormat dan takzim menerima tombak dari raja, lalu berangkat meninggalkan ibu kota, berbaris bersama pasukannya menuju daerah Timur. Dalam perjalanan, dia pertama-tama mengunjungi semua kuil Ise untuk melakukan penghormatan, dan bibinya Putri Yamato beserta pendeta Agung keluar menyambutnya. Sang putri adalah orang yang memberikan padanya gaun yang terbukti berguna membantunya mengalahkan dan membantai para bandit dari daerah barat.
Diceritakan pada bibinya semua yang telah dialaminya, dan sebagian besar berkat andil lindungan dan doa sang bibi itu yang membuatnya meraih keberhasilan selama ini, lalu mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya pada bibnya itu. Ketika sang bibi mengetahui kalau sang pangeran tengah dalam perjalanan sekali lagi untuk berperang melawan musuh-musuh ayahnya, dia lalu masuk ke dalam kuil, dan muncul membawa sebuah pedang dan sebuah tas cantik yang telah dibuatnya sendiri, yang isisnya dipenuhi pemantik api, yang di jaman dulu dipakai orang untuk menyalakan api sebelum orang memakai korek api. Tas itu dia hadiahkan pada pangeran sebagai hadiah perpisahan.
Pedang yang dibawanya adalah pedang Murakumo, salah satu dari tiga pusaka kerajaan yang disucikan yang menjadi pusaka kramat dari istana Kekaisaran Jepang. Tak ada azimat lain yang lebih manjur membawa keberuntungan dan keberhasilan selain yang kini diberikan bibinya itu pada sang kemenakan, lalu dikatakan pada sang pangeran untuk menggunakannya hanya di saat-saat yang paling genting.
Yamato take lalu mengucapkan salam perpisahan pada bibinya, kemudian memposisikan diri di depan pasukannya, berbaris menuju daerah timur yang paling jauh melewati provinsi Owari, lalu sampai di provinsi Suruga. Di sana gubernur setempat menyambut kedatangan sang pangeran dengan suka cita dan menyuguhkan hiburan pesta-pesta kebesaran kerajaan. Ketika acara esta-pesta itu usai, sang gubernur menceritakan kepada tamunya kalau propinsinya itu terkenal dengan daging rusanya yang enak, lalu mengusulkan untuk berburu rusa sebagai acara rekreasi buat sang pangeran. Sang pangeran sungguh-sungguh tertipu oleh keramah-tamahan tuan rumahnya itu , yang semuanya hanya pura-pura belaka, dan dengan senag hati setuju untuk ikut bergabung dalam acara perburuan itu.
Si gubernur lalu menhajak pangeran menuju ke sebuah padang yang luas dan masih liar dimana di sana banyak sekali ditumbuhi rerumputan tinggi-tinggi. Sama sekali tak mengetahui kalausi gubernur telah memasang perangkap untuknya agar bisa membunuhnya, sang pangerang mulai berkuda kencang sekali dan berhasil menangkap seekor rusa. Tetapi saat itu pangerang dikejutkan oleh semburan api dan gumpalan asap yang membara di sesemakan di depannya. Menyadari bahay yang dihadapinya, sang pangeran mencoba mundur, tetapi baru beberapa langkah mengarahkan kudanya ke arah yang berlawanan, padang rumput di sana itupun sudah dilalap api. Di saat yang bersamaan padang rumput di kiri dan kanannya juga ikut terbakar, dan apinya mulai menyebar cepat mengurungnya dari segala penjuru.Dilihatnya berkeliling untuk mencari celah buat meloloskan diri. Tetapi tak ada jalan keluar. Sang pangeran terkepung api.
"Acara perburuan rusa ini rupanya hanya tipu muslihat musuh!" ujar sang pangeran, memandang berkeliling melihat api dan asap yang gemerutuk dan bergulung-gulung ke arahnya dari segala sisi. "Betapa bodohnya aku bisa terbujuk masuk perangkap ini layaknya binatang buas!" giginya gemerutuk saking geramnya membayangkan senyum culas si gubernur.
Dalam situasi berbahay seperti itu, sang pangeran sama sekali tidak gugup. Di saat-saat terjepit seperti itu diingatnya pemberian dari bibinya yang diberikan padanya saat mereka berpisah, dan baginya saat-saat itu kini sebagaimana yang dibayangkan bibinya itu bisa digolongkan sebagai saat genting. Dengan tenang lalu dibukanya tas berisi pemantik api yang diberikan bibinya padanya itu, lalu menyulut api di rumput di dekatnya. Kemudian sambil mencabut pedang Murakumo dari sarungnya, sang pangeran mulai membabati rumput yang mengelilinginya dengan cepat sekali. Dia sudah bertekad untuk mati, jika itu yang akan terjadi, dalam keadaan berjuang mempertahankan hidupnya dan bukannya berdiam diri saja menunggu kematian datang menjemputnya.
Anehnya, angin mulai berubah arah tiupannya dan bertiup dari arah yang berlawanan, dan sesemakan yang membara yang tadi mengancam nyawanya kini berhembus menjauhinya, dan sang pangeran, bahkan tanpa mengalami lecet sedikitpun pada tubuhnya atau satu helai dari rambutnya yang terbakar, tetatp hidup untuk bisa menceritakan upayanya meloloskan diri yang seperti mukzizat itu. Sementara angin yang berubah arah tadi menerkam si gubernur, dan si gubernur mati terbakar dalam kobaran api yang dipasangnya sendiri untuk membunuh Yamato Take.
Pangeran Yamato Take menggambarkan upayanya untuk meloloskan diri itu seluruhnya berkat pedang Murakumo, dan berkat perlindungan Amaterasu, dewi Matahari dari Ise, yang telah mengendalkan angin dan semua unsur-unsur alam serta melindungi keselamatan siapapun saja yang berdoa kepadanya di saat-saat menghadapi bahaya. Diangkatnya pedang berharga itu tinggi sampai di atas kepalanya berkali-kali sebagai tanda rasa hormatnya yang kuasa, dan saat itu diberi namanya pedang itu menjadi Kusanagi-no-Tsurugi atau Pedang Pembabat Rumput, dan tempat di mana dia menyulut api ke rumput di sekelilingnya dan berhasil lolos dari kematian di padang rumput yang terbakar itu, dinamakannya Yaidzu. Sampai hari ini, ada sebuah tempat di sepanjang rel kereta Tokaido yang disebut Yaidzu, yang menurut orang itu adalah tempat persis di mana kejadian menegangkan itu terjadi.
Maka si gagah berani pangeran Yamato Take pun berhasil meloloskan diri dari jebakan yang dipasang oleh musuhnya. Dia banyak akal dan sangat pemberani, dan pada akhirnya berhasil menaklukkan dan menghabisi semua lawan-lawannya. Meninggalkan Yaidzu, sang pangeran memimpin pasukannya menuju timur, lalu sampai ke pantai di Idzu di mana dari sana pangeran bermaksud menyeberang Kadzusa.
Dalam menghadapi bahaya dan petualangannya, sang pangeran selalu didampingi istrinya yang setia dan mencintainya, Putri Ototachibana. Untuk keperluan itu sang putri rela menjalani lelahnya perjalanan panjang serta bahaya peperangan, dan rasa cintanya padaa suaminya sang ksatria gagah berani itu sangatlah besar dan sang putri merasa segala pengorbanannya terbayarkan saat dia bisa menyerahkan pedang kepada suaminya itu saat hendak berangkat berperang, dan memenuhi segala kebutuhannya saat sang pangeran kembali dalam keadaan lelah ke kampnya.
tetapi hati sang pangeran dipenuhi semangat berperang dan penaklukan sehingga dia tak begitu memperhatikan putri Ototachibana. Karena lama ikut berkelana, dan juga karena sikap dingin sang pangeran padanya, kecantikannya mulai memudar, dan kulitnya yang seputih gading mulai nampak kecoklatan karena terbakar teriknya matahari, dan sang pangeran mengatakan padanya di suatu hari kalau kedudukannya di istana adalah di balik pintu di rumah, dan bukan bersamanya di medan peperangan. Tetapi meskipun menghadapi penolakan dan sindiran dari suaminya itu, putri Ototachibana tak bisa menemukan alasan mengapa dia harus meninggalkan suaminya. Tetapi akan jauh lebih baik baginya untuk melakukannya, karena dalam perjalanan menuju Idzu, ketika mereka sampai di Owari, hatinya betul-betul terluka.
Di sini tinggal di istana yang dinaungi pohon-pohon pinus dan dikelilingi pagar-pagar tinggi, putri Miyadzu, cantik seperti mekarnya bunga sakura di tengah-tengah menyingsingnya fajar di musim semi. Gaunnya molek dan cemerlang, dan kulitnya seputih salju, karena sang putri tak pernah mengalami susah payahnya kehidupan di tengah medan peperangan ataupun berjalan di bawah teriknya sinar matahari di musim panas. Dan sang pangeran merasa malu pada istrinya yang kini kulitnya berwarna kecokelatan dan yang memakai gaun berkelananya yang lusuh itu, dan memintanya tetap berjalan di belakang saat sang pangeran datang mengunjungi putri Miyadzu. Setiap haripangeran menghabiskan waktu berjam-jam di taman dan di istana milik kekasih barunya itu, hanya memikirkan kesenangan pribadi, dan tak mempedulikan istrinya yang malang yang tetap tinggal di tenda sambil menitikkan air mata memikirkan kemalangan yang menimpa hidupnya. Tetapi dia tetap menjadi istri yang setia, dan pribadinya yang sangat penyabar itu tak membiarkan satu pun kata-kata amarah keluar dari bibirnya, atau menampakkan wajah cemberut karena kesedihan yang dirasakannya, dan dia selalu menyunggingkan senyum untuk menyambut suaminya pulang atau mengikuti di belakangnya kemanapun sang suami pergi.
Akhirnya tibalah saatnya bagi sang pangeran untuk berangkat menuju Idzu dan menyeberangi laut menuju Kadzusa , dan sang pangeran meminta istrinya ikut dalam iring-iringan sebagai pelayan sementara dia sendiri pergi menghadiri pesta perpisahan meriah untuk putri Miyadzu. Sang putri keluar menyambutnya memakai gaun yang sangat indah, dan dia tampak jauh lebih cantik dari sebelumnya. Dan ketika pangeran Yamato Take melihatnya, dia lupa pada istrinya, tugasnya, dan segalanya kecuali kegembiraan hatinya saat itu, dan berjanji akan segera kembali ke Owari dan menikahinya saat perang usai. Dan ketika menengadah, ketika diucapkannya kata-kata tadi, dilihatnya mata besar Ototachibana terpana memandangnya tak bisa berakata apa-apa karena begitu sedihnya. Lalu pangeran menyadari kalau dia telah berbuat salah, tetapi dikeraskan tekadnya untuk tetap melanjutkan mengendarai kudanya, membawa sedikit saja kepedihan yang dilimpahkannya pada istrinya itu.
Ketika mereka mencapai tepi pantai di Idzu, pasukannya mencari perahu untuk dipakai menyeberangi selat menju Kadzusa, tetapi tak mudah mendapatka perahu dalam jumlah yang cukup banyak untuk membawa naik semua tentaranya. Sang pangeran lalu berdiri di pantai, sambil membanggakan kekuatannya dia berkata mengejek:
"Ini sih bukan laut! Ini hanya kali biasa! Mengapa kalian ribut-ribut mencari perahu banyak-banyak? Aku bisa melompatinya saja kalau aku mau."
Ketika akhirnya mereka semua sudah berlabuh dan dalam perjalanan menyeberangi selat itu, langit mendadak tertutup awan dan datang badai yang besar sekali. Ombak laut menjulang tinggi sampai setinggi gunung, suara angin menggerung-gerung, kilat menyambar, dan petir bergulung-gulung. kapal yang membawa putri Ototachibana serta pangeran Yamato dan rombongannya terhempas gelombang yang menggulung-gulung itu, seolah-olah mereka tengah di ujung kehidupannya, dan bahwa mereka akan ditelan air laut yang tengah murka itu. Karena Kin Jin, sang Raja Naga Laut, mendengar ejekan Yamato Take, dan memutuskan mengirim badainya yang dasyat itu karena murkanya, untuk menunjukkan pada pangeran yang angkuh itu betapa lautan bisa menjadi sangat garang walaupun tampaknya hanya seperti sungai kecil saja.
Anak buah kapal yang ketakutan lalu menurunkan layar sambil memandang di balik kemudi dan bekerja mati-matian untuk keselamatan hidup mereka, namun semua tampaknya sia-sia belaka, badai itu tampaknya malah hanya semakin menggila keganasannya, dan mereka semua kini menyerah pada nasib. kemudian putri Ototachibana yang setia itu berdiri, dan melupakan semua kedukaan yang dilimpahkan san suami padanya, melupakan bahkan sang pangeran bahkan telah lupa kalau dia sudah menyakiti hatinya. Tetapi karena rasa cintanya yang besar itu untuk bisa menyelamatkan nyawa suaminya, putri Ototachibana berniat untuk mengorbankan dirinya demi menyelamatkan nyawa suaminya dari kematian jika pun mungkin.
Saat ombak meremukkan kapal dan angin menderu-deru di sekeliling mereka dengan murkanya, sang putri bangkit berdiri dan berkata:
Semua ini terjadi pasti karena sang pangeran telah membuat murka Rin Jin, sang Dewa Laut,karena olok-olok pangeran. Jika memang benar demikian, aku, Ototachibana, akan membuat sirna kemurkaan sang Dewa Laut yang tak menginginkan yang lain selain nyawa suamiku!"
Kemudian pada laut dia berkata:
"Aku akan menggantikan tempat Paduka Yang Mulia, Yamato Take. Kini aku akan melemparkan diriku ke lautan dalam yang tek berujung ini, memberikan nyawaku padamu sebagai ganti nyawa pangeran. Dengarkanlah aku dan bawalah suamiku selamat sampai ke pantai Kadzusa."
Setelah selesai berkata demikian, sang putri lalu cepat-cepat loncat ke laut yang tengah bergejolak, dan gelombang langsung menggulungnya menjauh dari kapal, dan sang putri pun hilang dari pandangan. Anehnya, badai itu berhenti seketika itu juga, dan laut kembali menjadi tenang dan teduh layaknya seperti tikar yang tengah diduduki orang-orang yang semuanya takjub. Dewa-dewa laut kini sudah tenang, dan cuaca menjadi cerah dan matahari berinar seperti layaknya hari di musim panas.
Yamato Take tak lama kemudian sampai di pantai seberang dan mendarat denga selamat, seperti yang di doakan istrinya, putri Ototachibana. Kelihaiannya dalam seni berperang sangatlah hebat, membuatnya berhasil setelah beberapa waktu menaklukkan kaum Barbar dari timur, orang-orang Ainu.
Pangeran Yamato percaya dia bisa selamat mendarat semuanya ini berkat ketulusan istrinya, yang telah bersedia dengan begitu tulus dan penuh cinta mengorbankan dirinya sendiri di saat-saat paling mencekam dalam hidupnya. Hatinya terharu saat diingatnya sosok sang istrinya itu, dan tak sedikitpun kemudian dia rela lewatkan tanpa mengenagnya. Sudah terlambat baginya untuk menghargai kebaikan hati sang istri dan dan besarnya cinta sang istri padanya.
Saat pangeran Yamato tengah dalam perjalanan pulang kembali ke rumahnya ketika dia sampai di sebuah lembah tinggi Usui Toge, dan di sana itu sang pangeran berdiri memandangi pemandangan indah yang terbentang di bawahnya. Negerinya, dari tempat setinggi itu,tampak terbentang di hadapannya, sebuah pemandangan dengan gunung-gunung dan padang serta hutan-hutan yang luas, dengan sungai-sungai yang berkelok-kelok seperti pita keperakan melintasi negeri. Dan di kejauhan dilihatnya laut di ujung sana, yang berkedip-kedip kilau pantulan sinarnya bagaikan hamparan kabut bercahaya nun jauh di sana, di mana di sanalah Ototachibana telah memberikan nyawanya sebagai pengganti nyawanya. Dan ketika dia berbalik memandangi laut itu, direntangkan kedua tangannya lebar-lebar, dan ketika dibayangkan cinta isrinya itu yang telah dia cemooh dan betapa tak setianya dia selama ini pada san istri, hatinya saat itu meledak disesaki perasaan pilu dan tangisan memelas:
"Oh... Azuma... Azuma (istriku)!" Dan sekarang ini, ada suatu distrik di Tokyo yang diberi nama Azuma , untuk mengenang kata-kata pangeran Yamato Take, dan tempat di mana istrinya yang setia itu menceburkan diri ke laut untuk menyelamatkannya masih diingat orang. Jadi, meskipun semasa hidupnya putri Ototachibana tidak bahagia, sejarah masih segar menyimpan kenangan atas dirinya, serta kisah tentang kemurahan hatinya dan kematiannya yang gagah berani itu tak pernah lekang dari ingatan.
Yamato Take telah merampungkan semua titah ayahandanya, dia telah berhasil menaklukan semua pemberontak, dan membersihkan negerinya dari para penjahat dan semua musuh-musuh yang mengancam ketentraman, dan ketenarannya semakin membahana sampai kemana-mana, karena di segala penjuru negeri tak ada orang yang berani menantangnya. Dia begitu kuat dalam peperangan dan juga bijaksana dalam bertindak.
Sang pangeran tengah berniat langsung kembali ke rumahnya menyusuri jalan yang dilewatinya sebelum ini, ketika terlintas dalam benaknya bahwa mungkin perjalanannya akan menjadi lebih menarik kalau dia mengambil rute yang berbeda. Maka sang pangeran pun lalu melewati provinsi Owari dan sampai ke provinsi Omi.
Ketika sang pangeran sampai di Omi, dilihatnya orang-orang dalam keadaan sangat ketakutan dan cemas. Di depan rumah-rumah yan dilewatinya, dilihatnya tanda-tanda orang yang sedang berduka dan mendengar ratapan tangisan. Ketika ditanya apa yang terjadi penyebab semua itu, diberitahukan padanya kalau ada makhluk monster mengerikan yang telah muncul dari pegunungan, yang setiap hari turun dari tempat persembunyiannya dan menyerang desa-desa, melahap siapapun yang bisa ditangkapnya. Banyak rumah yang kini tak berpenghuni dan orang-oarang takut ke luar rumah untuk bekerja diladang, dan para wanitanya pun takut ke sungai untuk mencuci beras.
Ketika Yamato mendengar hal itu, murkanya tersulut, lalu dia berkata dengan geramnya:
"Dari ujung barat Kyushu ampai ujung timurYezo, kam telah berhasil mengalahkan musuh-musuh raja, tak ada lagi orang yang berani melawan hukum atau memberontak melawan raja. Ini sungguh mengherankan, kalau di sini di tempat ini, yang begitu dekat letaknya dengan ibu kota, ada sosok monster yang beranikeluar dari sarangnya dan meneror rakyat raja, menikmati saat-saat membinasakan orang-orang tak berdosa. Kami akan berangkat sekarang dan membunuhnya segera."
setelah berkata demikian sang pangeran pun berangkat menuju gunung Ibuki, ke tempat dimana kata orang monster itu tinggal. Dia lalu mendaki gunung itu sampai jauh, ketika tiba-tiba di jalan yang berkelok-kelok, seekor monster ular muncul di depannya dan menghalangi jalannya.
"Ini pasti monster yang diceritakan orang-orang itu," kata sang pangeran, "aku tak membutuhkan pedangku untuk menghadapi seekor ular. Aku bisa membunuhnya dengan tangan kosong."
Dia kemudian menyerbu maju menyerang ular itu dan berupaya mencekiknya sampai mati dengan tangan kosong. Tak lama waktu yang dibutuhkan tenaganya yang luar biasa kuatnya itu untuk mengalahkan lawannya, dan si ular pun sudah mati tergeletak di kakinya. Mendadak gelap dan menyelimuti gunung itu dan hujan mulai turun, sehingga di tengah-tengah hujan dan halimun sang pangeran hampir-hampir tak bisa melihat arah perginya. Namun dalam sekejap, waktu pangeran tengah meraba-raba jalan menuruni lembah itu, cuaca berubah menjadi cerah, dan pahlawan kita yang gagah berani itu cepat-cepat berjalan menuruni gunung.
Waktu pangeran sudah kembali pulang, dia muali jatuh sakita dan merasakan rasa sakit yang membara di kakinya. Saat itu pangeran menyadari kalau monster ular pasti telah menularkan racunnya. Begitu parah sakitnya itu ampai-sampai pangeran nyaris tak bisa bergerak, apalagi berjalan, dan oleh karenanya harus ditandu ke sebuah tempat di suatu pegunungan yang terkenal karena sumber air mineralnya yang panas, yang menyembur bergelembung dari dalam tanah, dan panas mendidih dari lahar vulkanik di dalam bumi.
Yamato take berendam setiap hari di air itu, dan perlahan-lahan dirasakan kalau kekuatannya mulai pulih kembali dan sakitnya pun mulai menghilang, sampai akhirnya di suatu hari dirasakannya dengnan penuh kegembiraan dirinya sudah membaik. Dia pun bergegas menuju kuil Ise, di mana di tempat itu kita ingat sang pangeran pernah berdoa sebelum melakukan perjalanan panjangnya. Bibi sang pangeran, pendeta di tempat suci itu, yang memberi berkatnya saat sang pangeran berangkat melakukan ekspedisinya, keluar menyambutnya pulang. Diceritakan pada bibinya itu semua mara bahaya yang ditemuinya dan bagaimana secara menakjubkan dia masih bisa selamat dari semuanya itu, lalu bibinya memuji keberanian dan kelihaiannya sebagai ksatria, kemudian memakai jubahnya yang paling indah, dihaturkannya rasa terima kasih kepada leluhur mereka, sang Dewi Matahari,Amaterasu, kepada siapa mereka berdua berhutang budi atas perlindungan yang diberikan pada sang pangeran.
Berakhirlah dongeng tentang pangeran Yamato Take dari Jepang.
Diambil dari buku Dongeng Klasik Jepang, karya Yei Theodora Ozaki