Saturday, February 13, 2010

CERPEN: Delima


Yasunari Kawabata


-->
DALAM embusan angin malam daun-daun pohon delima jatuh berguguran. Helai-helai dedaunan terserak melingkar di pelataran. Kimiko terkejut saat melihat pohon itu meranggas di pagi hari dan terheran-heran menyaksikan lingkaran dedaunan yang terserak begitu sempurna di bawahnya. Dia berharap angin akan mengacaukannya. Sebutir buah delima yang ranum tertinggal di pohon itu.
”Kemarilah, lihat itu,” seru gadis itu kepada ibunya.
”Aku telah menyia-nyiakan pohon itu.”
Ibunya memandang sekilas ke arah pohon delima itu dan kembali ke dapur.
Semua itu membuat Kimiko teringat pada kesepian mereka. Pohon delima di samping beranda itu pun kesepian dan terlupakan.
Dua minggu yang lalu, kemenakan lelakinya yang baru berumur tujuh tahun datang berkunjung. Ia segera tertarik pada pohon delima itu. Dipanjatnya pohon itu. Kimiko merasa hidup dalam kehidupan yang nyata.
”Ada buah delima besar di atas sana,” serunya dari beranda.
”Tapi, kalau kuambil, nanti aku tak bisa turun.”
Memang benar. Turun dari pohon dengan buah delima di tangan bukanlah perkara mudah. Kimiko tersenyum. Bocah itu bikin orang jatuh sayang.
Hingga saat bocah itu datang mengunjungi mereka, pohon delima itu terlupakan. Kini pun mereka melupakannya kembali.
Dulu butir-butir buah delima tersembunyi di balik rimbun dedaunan. Kini pohon itu tegak bugil menantang langit.
Ada semacam kekuatan dalam pohon delima itu dan dalam lingkaran dedaunan di pelataran. Mereka berkilau-kilau di bawah cahaya matahari.
Kimiko merasa agak sedih.
Ketika dia sedang menjahit di loteng sekitar pukul sepuluh pagi, didengarnya suara Keikichi. Ia datang memutar lewat kebun. Ada sesuatu yang mendesak dalam nada suaranya.
”Kimiko! Kimiko!” seru ibunya. ”Ada Keikichi.”
Kimiko melepaskan benang dari jarumnya. Ditusukkannya jarum itu ke bantalan busa.
”Kata Kimiko, dia sangat ingin bertemu denganmu sebelum kau pergi,” kata ibunda Kimiko kepada Keikichi. Pemuda itu akan pergi ke medan perang. ”Tetapi, kami sulit menemuimu tanpa surat resmi dan kau tak kunjung datang. Syukurlah kau datang hari ini.”
Ibunda Kimiko meminta Keikichi tinggal untuk makan siang, tetapi pemuda itu tak punya banyak waktu.
”Baiklah, setidak-tidaknya makanlah buah delima ini. Kami menanamnya di kebun sendiri.”
Dia memanggil Kimiko lagi.
Lelaki itu menyambut Kimiko dengan sorot matanya, seolah-olah ia tak sabar menunggu gadis itu turun. Kimiko terhenti di atas tangga.
Sesuatu yang hangat terlihat di mata pemuda itu dan buah delima pun terjatuh dari genggaman Keikichi.
Mereka saling memandang dan tersenyum.
Saat tersadar bahwa dia tersenyum, Kimiko tersipu-sipu. Keikichi bangkit dari duduknya.
”Jaga dirimu baik-baik, Kimiko.”
”Kamu juga.”
Lelaki itu membalikkan tubuh dan mengucapkan selamat tinggal kepada ibunda Kimiko.
Kimiko masih menatap ke arah kebun setelah Keikichi pergi.
”Ia tergesa-gesa,” kata ibunya, ”dan buah delima ini ranum.”
Keikichi meninggalkan buah delima itu di beranda.
Tampaknya ia tak sengaja menjatuhkannya saat sesuatu yang hangat bersinar dalam sepasang matanya. Ia sedang mengupasnya saat itu. Buah delima itu tidak pecah seluruhnya menjadi dua dan tergeletak dengan kulit terbuka.
Ibunda Kimiko membawanya ke dapur dan mencucinya, lalu memberikannya kepada Kimiko.
Gadis itu mengulurkan tangannya, lalu sekali lagi tersipu-sipu seraya mengambil buah itu dengan raut wajah gundah.
Keikichi tampaknya telah membuat kulit delima itu tercuil di bagian ujungnya.
Diawasi pandangan ibunya, Kimiko merasa serba salah jika tak memakan buah itu. Digigitnya delima itu acuh tak acuh. Sesuatu yang berasa kecut memenuhi mulutnya. Dia merasakan semacam kebahagiaan yang menyedihkan, seakan-akan ada sesuatu menusuk dalam-dalam ke dalam dirinya.
Ibunya bangkit, lalu melangkah ke depan cermin dan duduk. ”Lihatlah rambutku. Aku mengucapkan selamat jalan kepada Keikichi dengan rambut acak-acakan seperti ini.”
Kimiko mendengar suara ibunya menyisir rambut.
”Waktu ayahmu meninggal,” kata ibunya dengan lembut, ”aku merasa takut menyisir rambutku. Saat aku menyisir rambut, aku suka lupa pada apa yang sedang kulakukan. Seolah-olah ayahmu sedang menungguku hingga saat terakhir.
Kimiko teringat kebiasaan ibunya. Ibunya selalu memakan sisa-sisa makanan yang ditinggalkan ayahnya di atas piringnya.
Dia merasakan sesuatu seakan mengisapnya, sebuah kebahagiaan yang membuatnya ingin menangis.
Ibunya barangkali memberinya buah delima itu karena enggan membuangnya. Hanya karena itu. Sudah menjadi kebiasaannya tidak membuang sesuatu secara sia-sia.
Sendiri dengan kebahagiaannya, Kimiko merasa malu di hadapan ibunya.
Dia pikir tadi adalah sebuah perpisahan yang menyenangkan bagi Keikichi dan dia tak tahan menanti lelaki itu kembali.
Kimiko menatap ibunya. Matahari jatuh di atas birai pintu yang terbuat dari kertas dekat tempat ibunya duduk di depan cermin.
Dengan agak ragu-ragu, Kimiko kembali menggigit buah delima itu. (35)

Catatan:
Yasunari Kawabata (1899-1972), pemenang Hadiah Nobel Sastra 1968. Pengarang kenamaan Jepang ini mati bunuh diri di ruang kerjanya tanpa pesan, meninggalkan nama besar dan sejumlah karya abadi. Cerita ini diterjemahkan Anton Kurnia dari ”The Pomegranate” dalam antologi Contemporary Japanese Literature; Tuttle Books, New York: 1975, susunan Howard Hibbet.

0 comments:

Post a Comment