Wednesday, February 17, 2010

Perbandingan Konsep Nama Keluarga di Jepang Dan di Indonesia

KONSEP NAMA KELUARGA DALAM KEBUDAYAAN INDONESIA

Orang Indonesia memberikan nama Indonesia kepada anak-anak mereka dengan berbagai cara. Dengan lebih dari 17.000 pulau dan beragam budaya dan bahasa daerah, Indonesia tidak memiliki satu aturan tertentu dalam pemberian nama. Selain itu, nama keluarga tidak dicatatkan secara resmi di kantor pemerintahan dan tidak diperkenankan dicantumkan di akta kelahiran.
Konsep nama keluarga tidak dikenal dalam beberapa budaya Indonesia, misalnya budaya Jawa. Karena itu, banyak orang sampai saat ini hanya memiliki satu nama, yaitu nama pemberian. Apabila mereka kemudian pergi atau menetap di negara-negara yang mengharuskan setiap penduduknya untuk memiliki minimal dua nama (nama pemberian dan nama keluarga), kesulitan dapat terjadi. Pemecahan yang biasanya diambil adalah mengulang nama tersebut dua kali.
Beberapa budaya lain memiliki peraturan mengenai nama keluarga atau nama marga. Dalam budaya Batak dan Manado, misalnya, nama ayah diwariskan kepada anak-anaknya (patrilineal). Dalam budaya Minangkabau, nama yang diwariskan adalah nama ibu (matrilineal). Beberapa nama yang berasal dari bahasa Arab telah diserap menjadi bagian nama Indonesia, misalnya Hambali, Shihab, Assegaf, dsb.
Kemudian orang Jawa, Bali dan beberapa orang Madura serta Sunda juga sering menggunakan nama yang berasal dari bahasa Sansekerta. Orang-orang Tionghoa dalam menindonesiakan nama Tionghoa seringkali menggunakan nama-nama Sansekerta pula. Beberapa contoh: awalan su (misalkan Soeharto, Soekarno, Sumantri, Sudono dll.), Arya, Cakra, Gunawan, Iwan, Santosa, Setiawan, Puspa, Ratna, Retno, Sita, Sinta, Sundari, Wati, Wijaya, Wisnu dsb.
Banyak orang Indonesia memiliki tatacara penamaan yang unik, tidak seperti nama-nama Eropa yang umumnya menggunakan formula [nama depan]-[nama tengah]-[nama keluarga]. Nama-nama yang diberikan orang tua kepada anak-anak mereka bervariasi tergantung dari asal pulau, suku, kebudayaan, bahasa, dan pendidikan yang diterima orang tua mereka. Masing-masing suku bangsa di Indonesia biasanya memiliki cara penamaan yang spesifik dan mudah dikenali, misalnya nama-nama yang berawalan ‘Su-‘ atau ‘Soe-‘ yang hampir selalu menunjukkan sang penyandang nama berasal dari keluarga Jawa atau lahir di Jawa (nama Jawa). Di Indonesia tidak ada pembatasan resmi untuk memilih kata yang dipakai sebagai nama anak
Wanita Indonesia setelah menikah tidak berganti nama keluarga. Tapi ada juga yang nama keluarga suami dimasukkan di tengah, antara nama depan dan nama keluarga wanita, sebagaimana di suku Minahasa. Di Indonesia umumnya setelah menikah nama suami dilekatkan di belakang nama istri. Misalnya saja Prio Jatmiko menikah dengan Sri Suwarni, maka istri menjadi Sri Suwarni Jatmiko. Tetapi penambahan ini tidak melewati proses legalisasi atau pencatatan resmi di kantor pemerintahan
Keluarga-keluarga yang menetap di kota-kota besar atau telah mendapatkan pendidikan yang berbeda dari orangtua mereka tidak jarang mengadopsi cara penamaan [nama depan]-[nama keluarga] yang menyebabkan banyaknya nama-nama keluarga baru yang bermunculan.

KONSEP NAMA KELUARGA DALAM KEBUDAYAAN JEPANG

Pada awalnya masyarakat Jepang tidak mempunyai nama keluarga. Baru tahun 1870 pada Restorasi Meiji keluarga di Jepang memiliki nama keluarga karena pada saat itu nama keluarga menjadi keharusan di Jepang. Bagi yang berkelas bangsawan atau samurai mereka tidak sulit lagi untuk mendaftarkan nama keluarganya. Tapi bagi masyarakat biasa, tiba-tiba harus memilih nama keluarga, tentu akan repot. Mereka yang bingung akhirnya meminta pendapat dari pendeta Buddha atau Myoshu, seorang profesional pemilih nama.
Nama di Jepang terdiri dari dua bagian : nama keluarga dan nama depan. Nama ini harus dicatatkan di kantor pemerintahan (kuyakusho), selambat-lambatnya 14 hari setelah seorang bayi dilahirkan. Semua orang di Jepang kecuali keluarga kaisar, memiliki nama keluarga. Huruf Kanji yang bisa dipakai untuk menyusun nama anak di Jepang dibatasi oleh pemerintah (sekitar 2232 huruf, yang disebut jinmeiyo kanji),
. Dewasa ini ada sekitar 100 ribu nama keluarga di Jepang, dan diantaranya yang paling populer adalah Satou dan Suzuki. Jika seorang wanita menikah, maka dia akan berganti nama keluarga, mengikuti nama suaminya. Namun demikian, banyak juga wanita karir yang tetap mempertahankan nama keluarganya. Dari survey yang dilakukan pemerintah tahun 1997, sekitar 33% dari responden menginginkan agar walaupun menikah, mereka diizinkan untuk tidak berganti nama keluarga . Hal ini terjadi karena pengaruh struktur masyarakat yang bergeser dari konsep “ie”(家) dalam tradisi keluarga Jepang. Semakin banyak generasi muda yang tinggal di kota besar, sehingga umumnya menjadi keluarga inti (ayah, ibu dan anak), dan tidak ada keharusan seorang wanita setelah menikah kemudian tinggal di rumah keluarga suami. Tradisi di Jepang dalam memilih nama depan, dengan memperhatikan makna huruf Kanji, dan jumlah stroke, diiringi dengan harapan atau doa bagi kebaikan si anak.
Nama orang Jepang bisa diperhatikan dari Kanjinya. Sebagai contoh, jika mempunyai unsur TA dengan kanji 田 berarti dahulu nenek moyang mereka adalah petani. Atau seperti nama keluarga MIYA 宮 artinya jinja sehingga bisa diketahui bahwa nenek moyangnya dahulu bekerja di Jinja. Dan dengan gabungan kanji shita 下 , maka menjadi miyashita berarti Dibawah Jinja. Tapi banyak pula nama keluarga Jepang yang sulit dibaca atau diucapkan atau sulit dibaca kanjinya

1 comments:

Unknown said...

min ada kah buku cetakan nya?

Post a Comment